Mohon tunggu...
Wikan Sunindyo
Wikan Sunindyo Mohon Tunggu... Dosen - dosen

Wikan Danar Sunindyo, seorang pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Doing Good is Not Enough

18 Agustus 2021   00:13 Diperbarui: 18 Agustus 2021   00:18 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Inovasi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Jcomp

Siapa yang tidak kenal Nokia? Di masanya, ia adalah perusahaan handphone nomor satu dunia. Di tahun 2007 saja ia menguasai hampir 50% pasar handphone dunia. Namun entah kenapa, sejak tahun 2010 pasar Nokia mulai tergerus hingga mencapai hanya 3,1%. Sesuatu yang mencengangkan.

CEO Nokia sendiri, Stephen Elop, tidak mengetahui apa yang terjadi dan mengapa itu bisa terjadi. Sambil terisak, ia berkata, "Kami sudah melakukan segala hal dengan baik. Kami tidak melakukan kesalahan apapun, namun entah mengapa kami kalah." Dan di tahun 2013 itu, ia harus merelakan Nokia diakuisisi oleh Microsoft, untuk kemudian nyaris hilang dihembus angin yang berlalu. Sementara pasar handphone mulai diperebutkan oleh Iphone, merek-merek dari Korea Selatan, dan merek-merek dari China.

Orang juga banyak bertanya-tanya mengapa Nokia bisa kalah begitu saja, padahal ia baik-baik saja dan tidak melakukan kesalahan. Namun memang dunia berubah sangat cepat saat ini, persaingan sangat ketat, dan berbagai macam perusahaan berlomba-lomba untuk menawarkan fitur-fitur baru yang lebih canggih dengan harga yang semakin terjangkau oleh masyarakat.

Zaman sekarang yang disebut dengan VUCA atau singkatan dari Volatility, Uncertainty, Complexity, and Ambiguity. Semua serba cepat berubah, tidak ada kepastian, makin kompleks, dan banyak hal yang meragukan. Tidak ada yang pasti, kecuali perubahan itu sendiri.

Strategi Nokia yang berusaha berhati-hati, tidak melakukan kesalahan, dan lebih berorientasi kepada perbaikan fitur-fitur produknya, ternyata secara jangka panjang malah merugikan. 

Sementara perusahaan-perusahaan lain berupaya untuk memperbaiki dan mengembangkan fitur-fitur yang baru dengan kemampuan layar sentuh, pengoperasian dengan suara, sistem operasi yang makin canggih, dan sistem kamera yang semakin baik.

Orang tidak bisa dipaksa hanya setia terhadap satu merek jika ternyata ada merek lain yang kemudian menyediakan kecanggihan yang berlipat ganda. Dan ini rupanya yang tidak disadari oleh Nokia, bahwa berlaku baik-baik saja, melakukan business as usual, tidak cukup dalam menghadapi tantangan zaman baru yang penuh dengan disrupsi.

Memang inilah beratnya zaman baru yang begitu sarat dengan perubahan. Kisah perjalanan pasang surutnya Nokia ini banyak diperbincangkan dan dipelajari di sekolah-sekolah bisnis dan manajemen untuk mengetahui rahasia di balik pengembangan suatu produk teknologi yang tidak hanya mencakup urusan teknisnya saja, tapi juga marketing, desain, dan nilai keekonomisan.

Kisah Nokia ini juga menjadi inspirasi bagi kehidupan, bagi siapa yang merasa cukup dengan baik-baik saja, saat ini tidak bisa begitu lagi. Karena setiap saat akan ada orang-orang yang mengincar posisi atau jabatan kita. Ada perusahaan lain yang berupaya untuk menaklukan perusahaan kita. Ada institusi lain yang berusaha mengalahkan institusi kita. Ada negara lain yang mengincar apa yang negara kita miliki.

Kalau kita hanya bertahan dengan strategi yang begitu-begitu saja, maka kita bakalan kalah dalam persaingan dunia internasional. Apalagi kalau menutup diri, makin terpuruk saja. Berupaya menutup mata atau menyalah-nyalahkan pihak lain juga tidak jadi solusi, karena pada hakikatnya persaingan yang terjadi itu tak terelakkan.

Maka dari itu, untuk menjadi pemenang atas persaingan dan perlombaan ini, kita perlu mempersiapkan diri. Tidak bisa hanya menjadi baik saja tapi harus excellent. Jadi lebih baik dan lebih unggul.

Caranya bagaimana? Kita perlu belajar dan belajar hal yang baru. Tidak cukup hanya belajar dari masa lalu, tapi perlu mengembangkan dan membentuk masa depan. Dan untuk melakukan itu, kita perlu melakukan kesalahan.

Berupaya baik-baik saja membuat kita terbatasi hanya melakukan apa yang kita ketahui dan apa yang kita bisa. Akibatnya, kita takut berbuat salah. Padahal kesalahan adalah investasi buat kita untuk melakukan hal yang lebih benar di masa yang akan datang.

Thomas Alva Edison melakukan ribuan kali kesalahan sebelum menemukan bola lampu yang sempurna. Tapi daftar kesalahan yang ia buat itu bisa ia gunakan supaya tidak mengulangi kesalahan yang sama.

Pak Kusmayanto Kadiman, mantan rektor ITB dan mantan menristek RI, menyatakan, orang harus learn, unlearn, dan relearn. Orang harus belajar, melupakan yang telah ia pelajari, untuk bisa mempelajari hal yang baru.

Berusaha mempertahankan kebiasaan-kebiasaan yang lama tidak terlalu bermanfaat di dalam menghadapi tantangan zaman baru. Perlu keikhlasan untuk melupakan dan melepaskan segala kejayaan dan pengetahuan yang kita peroleh di masa lalu, untuk mendapatkan kejayaan dan pengetahuan yang baru untuk masa depan.

Perlu melakukan konstruksi dan dekonstruksi pengetahuan, tidak mudah berbangga dan berpuas diri, apalagi kalau belum meraih puncak kesuksesan. Kalaupun sudah sampai puncak kesuksesan pun juga jangan kemudian berhenti begitu saja. Turun lagi dan kemudian kejar puncak yang lain. 

Jangan mudah menyerah dan jangan mudah berpuas diri serta jangan sombong, terlalu membangga-banggakan pencapaian kita di masa lalu. Karena ternyata dengan mudah, orang atau pihak lain akan bisa mengalahkan kita kalau kita tidak waspada dan hanya berlaku baik-baik saja.

#inspirasiharian

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun