Akal Imitasi dan Tantangan Pendidikan Informatika. Inilah kisah Omjay atau Dr. Wijaya Kusumah, M.Pd (Omjay), Guru Blogger Indonesia di kompasiana.
Di zaman yang serba cepat ini, kecerdasan buatan (AI) bukan lagi sekadar fiksi ilmiah. Ia telah hadir di tengah kehidupan kita sehari-hari---membantu menulis, menerjemahkan bahasa, mengenali wajah, hingga menciptakan lagu.Â
Namun satu pertanyaan penting patut kita renungkan sebagai pendidik: Apakah AI benar-benar cerdas, atau hanya sekadar memiliki "akal imitasi"?
Apa Itu Akal Imitasi?
Istilah akal imitasi merujuk pada kemampuan buatan untuk meniru perilaku, ucapan, atau bahkan pemikiran manusia tanpa benar-benar memahami makna di baliknya. AI seperti ChatGPT, misalnya, mampu menulis esai, menjawab soal, bahkan membuat puisi. Tapi apakah ia benar-benar mengerti apa yang ditulisnya? Jawabannya: tidak.
AI hanya memprediksi kata demi kata berdasarkan data pelatihan yang sangat besar. Ia meniru, bukan memahami.
Mengapa Guru Perlu Memahami Akal Imitasi?
Sebagai guru Informatika, kita harus mampu mengenalkan kepada siswa bahwa AI bukan "makhluk pintar", tapi "mesin peniru pintar". Ini penting agar siswa tidak semata-mata mengandalkan teknologi, tetapi tetap melatih daya pikir kritis dan nalar manusiawinya.
"AI bisa meniru, tapi hanya manusia yang bisa mencipta dengan makna."
Pembelajaran Informatika dan Tantangan Akal Imitasi
Banyak siswa kini mulai tergoda menggunakan alat-alat AI untuk mengerjakan tugas sekolah. Tugas coding disalin dari internet. Artikel dibuat oleh mesin. Presentasi diambil dari template. Padahal, tanpa proses berpikir, belajar menjadi kosong---tanpa esensi.