PGRI Tetap Satu: Tidak Ada Dualisme, Hanya Upaya Merusak dari Segelintir Oknum
Oleh: Dr. Wijaya Kusumah, M.Pd (Omjay)
Guru Blogger Indonesia
Mahkamah Agung (MA) telah mengeluarkan putusan dengan nomor perkara 333K/TUN/2025 terkait sengketa kepengurusan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI).
Dalam amar putusannya yang berbunyi Kabul, Batal, Adili Sendiri, dan N.O, muncul berbagai penafsiran yang justru menciptakan kerancuan, bukan kejelasan.
Beberapa pihak mencoba menarasikan bahwa keputusan MA ini menandakan adanya dualisme kepemimpinan dalam tubuh PB PGRI. Namun, narasi ini tidak berdasar secara struktur organisasi maupun fakta di lapangan.
Kepemimpinan PGRI Masih di Tangan Prof. Dr. Unifah Rosyidi
Fakta paling mendasar dan tak terbantahkan adalah bahwa seluruh pengurus PGRI di tingkat provinsi, kabupaten/kota, hingga ranting tetap solid mendukung kepemimpinan Prof. Dr. Unifah Rosyidi, M.Pd. Tidak ada satu pun provinsi yang mengalihkan dukungan ke kubu H. Teguh Sumarno.
Mereka hadir langsung dalam Kongres PGRI, memilih secara demokratis, dan berdiri teguh di bawah kepemimpinan Unifah Rosyidi. Ini bukan sekadar legalitas, tapi legitimasi sejati dari akar rumput organisasi.
Suara Tegas dari Daerah: Duri Harus Dicabut, Bukan Dipelihara
Pernyataan tegas datang dari para pengurus provinsi dan tokoh PGRI di berbagai daerah. Berikut beberapa kutipan yang menunjukkan bahwa tidak ada ruang untuk kompromi terhadap perusak organisasi:
Melkianus Dju Rohi (PGRI NTT):
"Kita sudah berperang dengan Pak Teguh cs bukan berniat untuk berdamai, tapi untuk mencabut duri dari dalam daging. Lebih baik mencabut duri daripada memotong daging karena duri. Kami di NTT mengusir kroni-kroninya yang datang merusak PGRI. Mereka menyerang Ketum terpilih. Bagi kami, ini dosa besar terhadap organisasi. Mengkhianati hasil KONGRES. Kami hadir dari pelosok negeri ke Jakarta demi kongres. Sekarang hasilnya diinjak-injak? Tidak! Perusak PGRI akan kami perangi, bukan untuk tujuan damai!"