Mohon tunggu...
Wijanto Hadipuro
Wijanto Hadipuro Mohon Tunggu... Peneliti dan penulis

Saya pensiunan tenaga pengajar yang senang menulis tentang apa saja. Tulisan saya tersebar di Facebook, blogspot.com, beberapa media masa dan tentunya di Kompasiana. Beberapa tulisan sudah diterbitkan ke dalam beberapa buku.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Siapa yang Harus Mengambil Keputusan di Akhir Hayat Orang Tua?

15 Oktober 2025   13:50 Diperbarui: 15 Oktober 2025   14:01 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Saat Ibu Saya Meninggal (Sumber: Koleksi Pribadi)

Saya hampir saja dihantui rasa bersalah saat saya mengambil beberapa keputusan penting menjelang meninggalnya ayah saya. Namun, untungnya kemudian saya dapat memberi interpretasi sendiri tanda-tanda yang dibuat ayah saya, sehingga perasaan bersalah tersebut banyak berkurang, meskipun tidak dapat hilang sama sekali.

Artikel ringkas ini berusaha untuk membuka ruang diskusi siapa yang sebaiknya mengambil keputusan di saat orang tua kita kritis, dan bagaimana sebaiknya proses pengambilan keputusan dilakukan. Tujuannya adalah agar tidak ada satu pihak pun yang disalahkan dan tidak ada satu pihak pun yang merasa bersalah.

Awal Mula Kisah

Tahun 2011 ayah saya jatuh. Usianya saat itu 81 tahun. Ayah saya jatuh telentang dengan kepala membentur lantai. Mudah-mudahan ini menjadi pelajaran bagi kita semua yang merasa sudah lansia.

Gara-gara jatuhnya sangat sepele sekali. Karena merasa masih kuat dan sehat, ayah saya mengenakan celana pendeknya tanpa berpegangan sama sekali. Celakanya kaki ayah saya 'kesrimpet' celana pendeknya dan akhirnya jatuh.

Coba kalau dia berpegangan saat mengenakan celana atau mengenakan celana sambil duduk, tentu ayah saya tidak akan meninggal gara-gara 'kesrimpet' celana.

Ibu saya sangat panik melihat ayah saya jatuh dan pingsan. Maklum mereka hanya hidup berdua saja di Purwokerto. Sementara saya tinggal di Semarang dan adik saya satu-satunya tinggal di Jakarta. Ibu saya menelpon saya dan juga teman ayah saya yang kebetulan bekerja membantu ayah saya mengurus penggilingan padi. Ini juga sebuah pelajaran berharga bagi saya. Ternyata penolong yang paling dekat adalah tetangga, bukan anak kandung atau saudara atau teman.

Singkat cerita ayah saya dibawa ke rumah sakit. Dokter mengatakan ada pendarahan di otaknya. Adik saya dan saya pun segera pulang ke Purwokerto. Menurut dokter karena ada pendarahan, maka ingatan ayah saya bisa on off, kadang ingat kadang tidak. Terkadang dia tidak mengingat saya, tetapi terkadang ingat.

Kesalahan 1: Memindahkan Ayah ke Semarang

Karena adik saya dan saya tidak dapat terus-menerus menunggui ayah saya di rumah sakit. Dan, juga dengan pertimbangan fasilitas kesehatan di Semarang yang saya duga lebih baik, maka akhirnya saya memindahkan ayah saya untuk dirawat di Semarang. Pertimbangan lain adalah selama ini ayah saya kontrol rutin ke dokter penyakit dalam juga di Semarang. Adik dan ibu saya setuju-setuju saja.

Dengan persetujuan dokter di rumah sakit di Purwokerto, ayah saya dibawa dengan menggunakan ambulan untuk dipindahkan ke sebuah rumah sakit di Semarang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun