Judul renungan saya ambil dari tema Misa Minggu Biasa XXII tanggal 30-31 Agustus 2025. Bacaan I misa yang diambil dari Sirakh 3:17-18.20.28-29 dan Bacaan Injil yang diambil dari Lukas 14:1.7-14 secara eksplisit berbicara tentang kerendahan hati."Makin besar engkau, patutlah makin kau rendahkan dirimu, supaya engkau mendapat karunia di hadapan Tuhan" (Sirakh 3:18). Sementara Yesus mengatakan dalam Bacaan Injil: "Tetapi, apabila engkau diundang, duduklah di tempat yang paling rendah. Mungkin tuan rumah akan datang dan berkata kepadamu, 'Sahabat, silakan duduk di tempat yang lebih terhormat'. Dengan demikian engkau akan menerima hormat di depan mata semua orang yang makan bersamamu" (Lukas 14: 10).
Tema misa, Bacaan I dan Bacaan Injil sangat menarik bagi saya, karena pengalaman hidup saya menunjukkan kenyataan yang sangat berbeda dengan ayat yang saya kutipkan di atas.
Sepulang misa saya berusaha untuk melakukan refleksi tentang kerendahan hati. Saya mencoba mencari definisi tentang kerendahan hati. Yang menarik bagi saya adalah pada ciri orang yang rendah hati.
Menurut hasil penelusuran Ringkasan AI Google, ada dua ciri yang menarik yang kemudian menjadi bahan refleksi saya. Ciri pertama, 'tidak suka memamerkan kelebihan dan keberhasilan; dan kedua, bersikap tenang, SEDERHANA (huruf besar dari saya) dan menjauhi kesombongan'.
Saya merasa justru dengan memamerkan kelebihan dan keberhasilan, serta tidak bersikap sederhana, kontribusi saya menjadi lebih positif. Berikut pengalaman saya terkait dengan kedua ciri orang yang rendah hati tersebut. Â
Pengalaman Saya
Suatu saat entah apa penyebabnya, tiba-tiba saat ujian skripsi seorang rekan dosen berkata, 'Pak Wijanto itu sederhana atau miskin?' Meskipun konteksnya tepat yaitu saat beliau menjelaskan tentang definisi operasional, tapi tetap saja saya terkejut. Mengapa contohnya tentang saya.
Menurut beliau tampilan fisik saya sederhana atau miskin, akan sama saja. Lalu beliau meneruskan 'sederhana itu jika Pak Wijanto mampu membeli mobil Alphard, tetapi dia memilih menggunakan kendaraan Suzuki Carry Pickup 1000 cc. Tapi jika Pak Wijanto memang kemampuan keuangan hanya cukup membeli mobil pickup, sementara dosen yang lain menggunakan mobil minimal LCGC, maka Pak Wijanto disebut miskin dibandingkan dosen lain'.
Memang sejak tahun 1991 sampai tahun 2014 atau selama 23 tahun, saya menggunakan kendaraan saya satu-satunya yaitu Suzuki Carry Pickup 1000 cc. Nanti saya akan kembali kepada kesimpulan, saya miskin atau sederhana. Melalui pengalaman saya, saya ingin menunjukkan betapa sulitnya untuk sederhana di jaman 'now'.
Latar Belakang
Kendaraan pickup ini saya beli dari hasil tabungan saya pertama bekerja selama hampir empat tahun. Dan, setelah membeli kendaraan ini, tabungan saya kembali nyaris nol. Lalu selama dua tahunan saya menabung lagi untuk membiayai pernikahan kami di tahun 1993. Setalah pernikahan tabungan saya dan istri saya kembali menjadi nyaris nol lagi.
Belum sempat bernapas, tahun 1994 kami dikaruniai seorang anak. Kami pun mati-matian menabung untuk biaya anak kami dan persiapan sekolahnya. Sehingga boro-boro memikirkan mengganti mobil, pikiran full untuk menabung agar anak dapat bersekolah di sekolah yang relatif baik yang biasanya lumayan mahal.
'Menghalangi kemajuan'
Di antara tahun 1990-1996 saya memiliki beberapa anak buah yang usianya sudah jauh lebih tua dibandingkan saya. Karena kerjanya lebih lama dari saya, dan istri mereka juga bekerja, maka kondisi keuangan mereka jauh lebih baik dari saya.
Suatu saat saya terkaget-kaget saat dua orang anak buah saya berkata, 'Wah jadi enggak enak nih ganti mobil. Lha atasannya (maksudnya saya) saja cuma menggunakan mobil pickup'.
Ternyata miskin (atau sederhana?) saja menghambat kemajuan orang lain, dalam hal ini anak buah saya. Meskipun disampaikan secara humor tapi tetap saja saya merasa, bahwa seharusnya seorang atasan memberi motivasi kepada bawahan untuk maju, bukannya menghambat akibat kemiskinan atasan. Apalagi jika itu bukan disebabkan oleh kemiskinan, tetapi oleh kesederhanaan. Lebih celaka, menurut saya.
Saya yakin dengan sedikit hedon, misalnya dengan saya membeli mobil baru secara kredit, mungkin akan memotivasi bawahan untuk juga 'mengejar' kemewahan atasan. Kerabat saya bekerja di Astra. Dia menceritakan bahwa saat jabatan dia meningkat, dia akan diberi fasilitas untuk meng-up grade kendaraannya.
Ternyata, sederhana atau miskin sama saja, kurang memotivasi bawahan dan juga bisa 'menghambat' kemajuan bawahan.
'Memalukan' organisasi tempat kerja
Setelah saya bekerja sebagai tenaga pengajar, saya diminta mewakili perguruan tinggi tempat saya bekerja untuk mengikuti Focus Group Discussion. Sebenarnya meskipun agak berbelit saya bisa meminta untuk diantar dengan kendaraan kantor plus pengemudinya. Tetapi karena alasan praktis saja, saya memilih menggunakan kendaraan pickup saya.
Karena topik FGD tersebut memang merupakan bidang kajian saya, maka saya dengan mudah, lancar dan meyakinkan dalam memberikan pandangan saya di dalam diskusi tersebut. Saya melihat banyak peserta lain yang rata-rata punya jabatan di organisasi tempat kerjanya mengangguk-angguk atau bahkan beberapa secara eksplisit mendukung dan memperkuat pendapat saya. Mayoritas peserta tampak respek pada saya. Membanggakan.
Namun, setelah diskusi selesai banyak peserta yang menunggu jemputan pengemudinya. Saya pun mengucapkan salam kepada mereka. Ada salah satu peserta yang menyusul di belakang saya. Kebetulan mobil dan pengemudinya parkir persis di sebelah kendaraan pickup saya. Ketika saya sapa, 'Mari, Pak', beliau tampak kaget dan dengan enggan meresponnya. Demikian juga saat saya melewati peserta yang masih menunggu kendaraan dan pengemudinya, mereka tidak seramah saat diskusi.
Saat itu saya baru menyadari, bahwa penampilan = dan termasuk kendaraan = bukan hanya terkait dengan kepentingan saya pribadi, tetapi juga menjadi representasi organisasi tempat saya bekerja. Penampilan dan kendaraan saya menunjukkan kemampuan organisasi untuk memberikan fasilitas dan gaji. Mungkin di kalangan peserta FGD tersebut berpikir, 'Mewakili organisasi tempat kerja koq dengan fasilitas yang di bawah standar'.
Saya makin menyadari saat saya bertemu teman yang bekerja di sebuah bank dan menangani nasabah prioritas atau preferred. Saat pergi dan pulang kantor dia mengendari kendaraan pribadinya yang termasuk LCGC, tetapi saat menemui nasabah dia selalu menggunakan kendaraan kantor yang jauh lebih mewah dibandingkan dengan kendaraan pribadinya.
Penampilan dan kendaraan ternyata menunjukkan reputasi karyawan dan organisasi tempat bekerja. Sederhana (atau miskin) ternyata kadang tidak sesuai dengan tempat kerja dan nasabah yang high profile.
'Menurunkan' kredibilitas
Kembali ke pengalaman saya dengan FGD di atas. Barangkali jika peserta sudah mengetahui kendaraan yang saya gunakan sebelum acara dimulai, pandangan mereka terhadap pendapat saya akan berbeda.
Mereka akan memiliki praduga bahwa yang dikirim oleh organisasi tempat saya bekerja hanyalah seorang 'rendahan' seperti saya. Dalam kehidupan sehari-hari, seperti menulis di media massa atau di blog tertentu, menuliskan biografi singkat secara high profile sering kali lebih dipercaya dibandingkan menulis biografi secara low profile.
Sebagai contoh bagi penulis 'biasa' untuk memperoleh centang biru di Kompasiana disebutkan harus memproduksi minimal 40% konten berlabel pilihan dan 20% konten berlabel artikel utama dari keseluruhan konten yang tayang. Tetapi jika penulis termasuk pakar, figur publik dan institusi terpercaya, maka syarat prosentase konten berlabel pilihan dan artikel utama tidak berlaku. Mereka langsung memperoleh centang biru dari admin Kompasiana.
Di dunia nyata, sederhana ternyata dapat menghambat. Banyak orang yang masih melihat 'siapa' yang menulis atau berpendapat, bukan menilai dari kualitas omongannya atau pendapatnya atau tulisannya. Sulit juga ya, untuk sederhana.
Refleksi
Kompas.com (19/8/2025) pernah memberitakan 'Hidup Sederhana Lebih Bahagia: Temuan Ilmiah yang Menentang Budaya Konsumtif'. Disebutkan 'Penelitian peer-reviewed yang dipimpin Profesor Rob Aitken dari University of Otago menunjukkan bahwa mereka yang menjalani gaya hidup sederhana secara sukarela melaporkan tingkat kebahagiaan (hedonic wellbeing) dan kebermaknaan hidup (eudaimonic wellbeing) yang lebih tinggi dibanding mereka yang mengejar materialisme'.
Sederhana yang dimaksud di dalam artikel di Kompas.com tersebut bukan miskin, tapi praktis; membeli lebih sedikit, memperbaiki barang, berbagi alat, dan memilih produk lokal yang dimungkinkan.
Refleksi saya pertama adalah jika melihat penjelasan dari penelitian Profesor Rob Aitken di atas, dan saya membandingkan dengan pendapat saya berdasarkan pengalaman pribadi saya, berarti saya miskin, bukan sederhana.
Refleksi kedua, terkait dengan Bacaan I dan Bacaan Injil Misa 30-31 Agustus 2025, saya juga bukan termasuk ciri orang yang rendah hati. Buktinya saya masih merasa terpaksa dengan apa yang saya miliki dan nikmati. Saya juga masih mencari-cari alasan untuk tidak mencirikan diri sebagai orang yang rendah hati.
Kembali ke hasil penelusuran Ringkasan AI Google, 'seseorang bisa hidup sederhana tetapi tidak rendah hati, karena kesederhanaannya mungkin tidak didasari dari sikap batin yang tulus'. Dalam kasus saya memang miskin dan sederhana berbeda.
Berat memang untuk rendah hati, apalagi untuk mencapai kehormatan sejati seperti tema Misa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI