Belum sempat bernapas, tahun 1994 kami dikaruniai seorang anak. Kami pun mati-matian menabung untuk biaya anak kami dan persiapan sekolahnya. Sehingga boro-boro memikirkan mengganti mobil, pikiran full untuk menabung agar anak dapat bersekolah di sekolah yang relatif baik yang biasanya lumayan mahal.
'Menghalangi kemajuan'
Di antara tahun 1990-1996 saya memiliki beberapa anak buah yang usianya sudah jauh lebih tua dibandingkan saya. Karena kerjanya lebih lama dari saya, dan istri mereka juga bekerja, maka kondisi keuangan mereka jauh lebih baik dari saya.
Suatu saat saya terkaget-kaget saat dua orang anak buah saya berkata, 'Wah jadi enggak enak nih ganti mobil. Lha atasannya (maksudnya saya) saja cuma menggunakan mobil pickup'.
Ternyata miskin (atau sederhana?) saja menghambat kemajuan orang lain, dalam hal ini anak buah saya. Meskipun disampaikan secara humor tapi tetap saja saya merasa, bahwa seharusnya seorang atasan memberi motivasi kepada bawahan untuk maju, bukannya menghambat akibat kemiskinan atasan. Apalagi jika itu bukan disebabkan oleh kemiskinan, tetapi oleh kesederhanaan. Lebih celaka, menurut saya.
Saya yakin dengan sedikit hedon, misalnya dengan saya membeli mobil baru secara kredit, mungkin akan memotivasi bawahan untuk juga 'mengejar' kemewahan atasan. Kerabat saya bekerja di Astra. Dia menceritakan bahwa saat jabatan dia meningkat, dia akan diberi fasilitas untuk meng-up grade kendaraannya.
Ternyata, sederhana atau miskin sama saja, kurang memotivasi bawahan dan juga bisa 'menghambat' kemajuan bawahan.
'Memalukan' organisasi tempat kerja
Setelah saya bekerja sebagai tenaga pengajar, saya diminta mewakili perguruan tinggi tempat saya bekerja untuk mengikuti Focus Group Discussion. Sebenarnya meskipun agak berbelit saya bisa meminta untuk diantar dengan kendaraan kantor plus pengemudinya. Tetapi karena alasan praktis saja, saya memilih menggunakan kendaraan pickup saya.
Karena topik FGD tersebut memang merupakan bidang kajian saya, maka saya dengan mudah, lancar dan meyakinkan dalam memberikan pandangan saya di dalam diskusi tersebut. Saya melihat banyak peserta lain yang rata-rata punya jabatan di organisasi tempat kerjanya mengangguk-angguk atau bahkan beberapa secara eksplisit mendukung dan memperkuat pendapat saya. Mayoritas peserta tampak respek pada saya. Membanggakan.
Namun, setelah diskusi selesai banyak peserta yang menunggu jemputan pengemudinya. Saya pun mengucapkan salam kepada mereka. Ada salah satu peserta yang menyusul di belakang saya. Kebetulan mobil dan pengemudinya parkir persis di sebelah kendaraan pickup saya. Ketika saya sapa, 'Mari, Pak', beliau tampak kaget dan dengan enggan meresponnya. Demikian juga saat saya melewati peserta yang masih menunggu kendaraan dan pengemudinya, mereka tidak seramah saat diskusi.