Meskipun demikian untuk benar-benar objektif tidaklah mudah. Saya termasuk dosen yang selalu berusaha menghafal nama mahasiswa. Kejelekannya seperti yang saya juga sampaikan kepada mahasiswa adalah agak sulit untuk menjaga objektivitas.
Masalahnya adalah setiap kali saya mengoreksi, saya cenderung membaca nama mahasiswa dan setelah mengetahui namanya, yang terbayang di benak saya adalah perilaku sehari-hari sang mahasiswa. Meskipun saya benar-benar menjaga, tetapi sulit dipungkiri, jika sang mahasiswa perilakunya baik, saya memiliki kecenderungan untuk ingin memberikan nilai yang baik dengan cara mencari jawaban mana yang dapat saya berikan nilai baik. Sebaliknya, jika yang terbayang di benak saya perilaku sang mahasiswa yang tidak baik, saya cenderung 'mencari' kesalahan jawaban untuk memberikan nilai yang tidak baik.
Tetapi hal tersebut dapat diatasi dengan proses transparansi seperti yang saya sudah uraikan sebelumnya. Yang perlu disadari adalah proses mengajar seperti itu sangatlah melelahkan. Bayangkan saja jika ada lebih dari 300 mahasiswa dari dua atau lebih mata kuliah yang berbeda dan dengan kelas paralel. Berapa banyak energi yang harus saya keluarkan untuk setiap tugas dan ujian yang saya berikan.
Uraian di atas saya maksudkan untuk menunjukkan salah satu cara untuk mencegah hadiah menjadi gratifikasi. Masih ada banyak cara lain yang bisa dilakukan berdasarkan pengalaman tenaga pendidik di lapangan. Cara ini juga belum tentu tepat untuk kasus yang berbeda.
Anti terhadap Hadiah
Saya termasuk dosen yang sangat anti terhadap hadiah dari mahasiswa atau orang tua-wali. Di keluarga saya sendiri, sikap ini menimbulkan perdebatan. Suatu saat istri saya mengetahui saya meminta mahasiswa membawa kembali parsel Natal dan Tahun Baru yang dia berikan kepada saya. Istri saya kasihan sekali melihat ekspresi mahasiswa saya yang kecewa dan sedikit malu.
Pernah suatu hari saat saya tidak ada di rumah, datang seorang mahasiswi membawa bingkisan untuk saya. Istri saya menanyakan dari mana si mahasiswi tahu alamat rumah kami. Sang mahasiswi mengatakan bahwa dia hanya tahu saya tinggal di satu kompleks perumahan tertentu. Kemudian dia menanyakan ke satpam dan beberapa tetangga sebelum menemukan rumah kami. Melihat usahanya yang keras dan ekspresinya yang menunjukkan rasa terima kasih yang besar, akhirnya istri saya menerima hadiah tersebut.
Saya tahu persis mengapa si mahasiswi sangat berterima kasih. Saya dosen pembimbing skripsi yang bersangkutan. Dia sudah ujian tiga atau empat kali dan selalu tidak lulus. Dia tidak lulus bukan karena dia tidak pandai, tetapi lebih karena dia sangat grogi saat mengikuti ujian skripsi. Tidak ada sepatah katapun yang keluar dari mulutnya saat dia ditanya. Presentasi skripsinya juga sangat kacau. Dia benar-benar grogi. Melalui perjuangan yang sangat berat yang kami lalui, akhirnya dia bisa mengeluarkan beberapa patah kalimat yang akhirnya membuat dia dinyatakan lulus.
Namun, tetap saja saya menegur keras istri saya. Dan, seperti biasa istri saya berusaha menggugah nurani saya melalui empati yang seharusnya saya berikan kepada si mahasiswi tersebut. Perdebatan yang tiada habisnya.
Mengapa saya anti terhadap hadiah?
Jawabannya sangat sederhana. Saya kasihan jika di kemudian hari ada kata-kata yang menyudutkan mahasiswa yang memberi hadiah. Pantas dia memperoleh nilai baik. Pantas dia lulus. Lha itu dia peroleh karena memberi hadiah. Padahal nilai baik dan kelulusan murni merupakan hasil objektif yang dia peroleh.