Dia juga tak sanggup berjalan karena rasa nyeri. Dan tak mungkin dia meninggalkan kakaknya sendirian di sini. Ana hanya menangis, menangis.
Dia menyesal mengapa tadi mau ikut dengan kakaknya, mengapa dia tidak mendengarkan larangan ibunya. Dia sungguh menyesal. Seharusnya dia juga bisa mencegah kakaknya.
“A ...na,” Ratih memanggil namanya walau terbata-bata. Ratih telah sadar.
“Kakak,” Ana memeluk tubuh kakaknya. Betapa senangnya hati Ana mendengar namanya di panggil Ratih.
“Sakit,” rintih Ratih. Seluruh badannya terasa sakit.
“Maaf Kak,” Ana melepaskan pelukkannya.
Tiba-tiba di derasnya malam dan gelapnya langit, seberkas sinar dari cahaya lampu mobil mengarah ke wajah Ana dan Ratih. Ana menutup matanya karena silau.
Mobil itu kemudian berhenti tepat di hadapan mereka.
Ana membuka matanya perlahan. Seseorang keluar dari mobil tersebut. Sepertinya seorang pria.
Siapa itu? Apa dia penjahat? Penculik? Ana sudah ketakutan setengah mati.
“Tidak, jangan! Tolong! Tolong!” Ana berteriak dengan nyaring.