Mohon tunggu...
Widya Shintia Sari
Widya Shintia Sari Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog Klinis

Psikolog klinis

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Mengoptimalkan Perkembangan Psikososial Anak

30 Agustus 2020   21:32 Diperbarui: 31 Agustus 2020   04:32 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

"Anakku sangat sulit ditinggal. Sejak kecil dia selalu menangis kalau kutinggal kerja, jadinya aku sering berangkat diam2 saat dia tidur. Sekarang dia sudah TK, dan tidak pernah mau masuk kelas kalau tidak kutemani. Aku bingung apa yang salah."

"Anak remajaku sekarang semakin sulit diatur. Dia lebih memilih untuk percaya pada teman-temannya dibanding mendengarkan papa-mamanya. Apa sih yang salah? Padahal setiap hari kebutuhannya kami penuhi dan jadwalnya sudah kami atur semua untuk kebaikannya. Dia tinggal ikuti saja mestinya, tapi entah kenapa semua dilanggar."

Keluhan-keluhan di atas sering sekali saya temui di ruang praktek. Persoalan mengasuh memang selalu menjadi topik yang menarik untuk dibicarakan. Berbeda tahapan usia anak, maka berbeda pula tantangan dan cara mengasuhnya. Zaman telah berubah dan tantangan menjadi orang tua selalu saja ada yang baru. Kemajuan teknologi dan semakin banyaknya pilihan aktivitas anak tentunya membawa dampak positif, namun di sisi lain orang tua juga perlu lebih peka terhadap potensi risiko yang mungkin ditimbulkan. Prinsip-prinsip pengasuhan yang kita terima saat menjadi anak-anak tentunya dapat menjadi masukan dari sisi 'pengalaman'. Namun tidak semua pengalaman masa lalu relevan dengan tantangan di masa sekarang. Orang tua perlu belajar dari sumber-sumber ilmiah yang telah terbukti efektif dalam mengoptimalkan perkembangan anak dan mendukung kematangannya baik dari sisi kognitif, emosi, maupun perilaku.

Dalam psikologi perkembangan, dikenal istilah 'perkembangan psikososial' yang membahas tentang perkembangan psikologis seseorang dikaitkan dengan pengalaman interaksi sosialnya. Gagasan ini pertama kali disampaikan oleh Erik H. Erikson, salah seorang pelopor psikologi perkembangan. Ia menjelaskan bahwa sepanjang hidupnya manusia akan melewati beberapa tahap perkembangan yang spesifik, dan setiap tahapan memiliki rentang masa untuk mengoptimalkan fungsi tertentu. Satu tahap perkembangan dipengaruhi oleh bagaimana tahap sebelumnya dilewati dan akan mempengaruhi tahap selanjutnya. Jika suatu tahapan terlewati secara optimal, maka akan mendukung tahap perkembangan berikutnya. Namun jika suatu tahapan gagal dioptimalkan oleh anak, terdapat risiko munculnya kondisi 'krisis' yang mempengaruhi perkembangan psikososialnya secara umum. Sebagai contoh, beberapa waktu lalu saya menangani kasus remaja yang mengalami masalah keterampilan sosial. Setelah ditelusuri lebih jauh, ternyata ia pun masih mengadopsi banyak kebiasaan-kebiasaan yang semestinya sudah tidak lagi dilakukan oleh anak seusianya. Dengan kata lain, kematangannya terhambat karena ada fase-fase yang belum terselesaikan dengan baik.

Menurut salah satu teori yang pernah saya baca, tahapan perkembangan psikososial didasarkan pada tingkatan dan perubahan kapasitas kognitif, proses belajar, dan kemampuan membangun relasi. Pada usia anak (0 hingga 18 tahun), terdapat 5 (lima) fase psikososial yang umumnya dilewati sebagaimana dikemukakan dalam Newman & Newman (2012) dan Zhang (2015), yaitu "trust vs mistrust (kepercayaan vs kecurigaan dasar)", "autonomy vs shame and doubt (otonomi vs rasa malu dan keraguan)", "initiative vs guilt (inisiatif vs rasa bersalah)", "industry vs inferiority (kecakapan/ketekunan vs rasa rendah diri)", dan "identity vs role confusion (identitas vs kekacauan peran)". Mungkin istilah-istilah tersebut masih terdengar agak 'asing', namun pada penjelasan di bawah ini saya akan mencoba menjelaskan secara sederhana apa saja yang menjadi karakteristik di tiap fase beserta dinamikanya.

Trust vs Mistrust (0-18 bulan)

Fase ini adalah periode kritis untuk pembentukan kepercayaan dasar. Anak belajar mengenali orang-orang di sekitarnya, mulai membangun kelekatan pada orang-orang terdekat, dan mengembangkan kepercayaan yang paling mendasar, yaitu pada figur lekat (orang tua dan/atau pengasuh lainnya). Dalam periode ini, pengalaman makan-minum menjadi sangat bermakna karena umumnya hal tersebut dilakukan oleh orang-orang terdekat. Orang tua atau pengasuh anak yang bersikap responsif terhadap kebutuhan anak, menunjukkan penerimaan yang tulus, dan konsisten membangun kedekatan akan membantu anak untuk mempunyai kepercayaan terhadap orang lain. Sebaliknya, inkonsistensi dan penolakan oleh orang tua/pengasuh dapat menimbulkan rasa 'tidak aman' pada anak, contohnya rasa cemas, sulit adaptasi, dan perilaku yang sangat 'rewel'.

Autonomy vs Shame (18-36 bulan)

Anak mulai belajar mandiri dan menyukai melakukan banyak hal dengan caranya sendiri di usia ini karena kendali atas aktivitas tubuhnya telah ia kuasai (sudah mampu berjalan, lari, bicara, dsb). Toilet training pun menjadi hal penting yang tepat untuk mulai dilakukan di tahap ini. Pola asuh orang tua yang mendukung kemandirian disertai pengawasan yang baik akan membuat anak merasa 'dipercaya' sekaligus didampingi. Selain itu, apresiasi terhadap pilihan-pilihan anak (misalnya pilihan jenis mainan, pakaian yang ia senangi, dsb) juga akan membentuk dasar kepercayaan diri yang baik. Hal yang perlu dihindari oleh orang tua ataupun pengasuh adalah sikap terlalu melindungi (overprotective) dan terlalu banyak melarang, karena dapat membentuk keraguan pada anak. Anak yang peragu cenderung membatasi diri dan tidak terbuka pada tantangan serta tidak percaya diri.

Initiative vs Guilt (3-6 tahun)

Pada tahap usia ini, umumnya anak mulai belajar mengatur dan memegang kendali atas hal-hal di sekitarnya. Ia tertarik dengan banyak hal dan ingin mencoba bermacam-macam kegiatan. Dengan kata lain, ini adalah masa-masa anak mengeksplorasi lingkungannya dan mengembangkan inisiatif. Bekal yang sangat penting untuk perjalanannya di usia sekolah nanti. Dengan  kemandirian yang mulai tumbuh di tahap sebelumnya, di tahap perkembangan ini diharapkan anak mulai memupuk sifat asertif dan lainnya yang mendukung karakteristik kepemimpinan. Peran orang tua dan pengasuh adalah mendukung kemandirian anak untuk membuat keputusan, menentukan pilihan, mengajukan pendapat, dan mengambil tindakan untuk mengatasi masalahnya sendiri, yang tentu saja tetap dengan pengawasan yang memadai. Hindari sikap yang terlalu membatasi pilihan anak, atau sebaliknya, terlalu memaksa anak untuk mengekspresikan sesuatu atau mengambil tindakan yang diluar kehendaknya, dan juga terlalu banyak mengkritik, karena dapat menumbuhkan sifat mudah merasa bersalah, peragu, dan kurang berinisiatif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun