Mohon tunggu...
Devi Widyaningrum
Devi Widyaningrum Mohon Tunggu... karyawan swasta -

ingin selalu berbagi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Teleponlah, Nak

25 Juni 2013   11:25 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:27 259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Seperti hari biasanya, ketika ia harus kembali ke dunianya. Matanya yang masih ingin memeluk guling, tapi dipaksanya untuk melepaskannya. Alam yang tenang di tengah sinar rembulan menemaninya berjalan membasuh badan. Bak air es yang menyegarkan dahaga di tengah teriknya. Tubuhnya bangun dan bersiap.

“Masih kurang sepuluh menit, dari jam biasanya kamu berangkat.” Sela ibu ditengah persiapan anaknya.

“Jalannya pelan-pelan, jadi sampai bawah sudah terang,” jawabnya dengan memasukkan barangnya dalam tas kecilnya. Sang ayah pun dengan sigap membantu anaknya. Dikeluarkannya motor lalu dipanaskannya di tengah dingin. Anak lelaki itu pun bergegas setelah melihat jam tua di rumahnya, yang menunjukkan pukul 04. 45.

“Ya, sudah hati-hati di jalan.” pesan ibunya yang sudah menunjukkan lipatan-lipatan halus di kulitnya. Tak lupa kepada ayahnya yang menunggunya di depan rumah. “Berangkat dulu, pak,” pamitnya sambil mengenakan helm dan kaos tangannya.

“Nggak usah ngebut kalau naik motor,” pesannya yang masih berdiri di samping anaknya. Saat akan berangkat,

“Kalau sudah sampai telepon ya,” tambah ibunya yang mengantarkan anaknya berangkat. Tapi Sang anak hanya diam sambil mempersiapkan diri untuk melakukan perjalanannya.

**

Setelah melalui perjalanan yang berliku, akhirnya sang anak tiba di dunia kerjanya. Ditariknya napas dalam-dalam sambil memarkirkan motornya. Ia pun segera berlari menuju dipannya dan direbahkan tubuhnya sambil melihat jam. Ia ingat pesan ibunya, dipegangnya sebuah handpone dicarinya nomor rumahnya. Tapi ia terhenti di sebuah jam. “Jam segini ibu sibuk di dapur, sedangkan bapak sibuk di sawah.” Ujarnya dalam hati, dan diurungkan niatnya untuk menelpon orang tuanya.

Berhari-hari pun berlalu. Kini orang tua yang tinggal di gubuk tua itu, menahan sepi sendiri. Tiada kericuhan yang terdengar. Hanya suara radio yang setiap waktu mengusik telinga. Setiap hari itulah yang terjadi. Anak-anak mereka pun sudah memiliki kesibukan masing-masing dengan keluarga kecilnya. Ingin mereka mengunjungi anak-anaknya yang tinggal di ibu kota. Tapi rasa itu tidak mungkin, siapa yang akan menjaga rumah dan ternak mereka jika pergi ke Jakarta. Satu minggu tinggal di sana pun rasanya kurang.

Sesekali untuk mengurangi rasa rindu pada cucunya. Mereka pun menelepon walau hanya terdengar ocehan-ocehan tidak jelas dari cucunya yang masih balita. Tapi itu cukup mengobati rasa rindunya kepada anak-anaknya. Hanya anak bungsunya yang masih bisa dilihatnya, meski itu harus tertahan beberapa hari untuk dilihat.

***

Tanah pun basah. Dihirupnya udara dingin karena guyuran air langit. Langkahnya pun semakin pelan menikmati hamparan hijaunya padi. Kosong saat kakinya memasuki rumah yang sudah berdiri sejak tahun 1963. Tak ada nadi yang didengarnya. Dilanjutkannya langkahnya menyusuri sudut-sudut gubuknya. Hingga ditemukannya sosok perempuan di antara ternaknya. Ia sibuk memberi pakan sedangkan bapaknya berada di antara rimbunan pohon di kebun.

Kepada sang bungsu, kedua orang tua berkeluh kesah. Mereka mengutarakan niatannya, tapi apa daya sang bungsu belum bisa membantu. Meski dalam batinnya, si bungsu ingin membantu menjaga orang tua yang sudah membesarkannya hingga kini. Dunia kerja yang lumayan jauh membuatnya tidak bisa pulang setiap harinya. Hanya satu minggu sekali ia akan pulang.

Seperti di hari-hari sebelumnya, pesan itu terucap dari bibirnya. “Telepon kalau sudah sampai,” tirunya dalam hati sembari ia mempersiapkan perlengkapan kembali ke dunianya. Di depan gubuknya, sang ibu pun berpesan, “Jika tidak pulang telepon.”

Malam pun bernaung, dipegangnya handponenya. Pikirannya kosong hanya melihat nama-nama yang ada dihandponenya. Telunjuknya terhenti di sebauh nama, “Ibu” dipandangnya lama nama itu. hingga akhirnya telunjuknya menekan gambar telepon. Didengarnya suara dari balik handponenya.

“Ya, Le?” suara perempuan yang umurnya sudah lebih setengah abad dari ujung telepon.

“Lagi apa bu?” tanyanya memecah suasana sepi dikamarnya. Mereka pun beradu dalam percakapan hangat yang lama dipinta oleh orang tuanya. Hanya suara yang dapat ia berikan, sebagai pengganti pelukan hangat darinya. Saudara-saudaranya yang di Jakarta pun sering menelepon orang tua mereka di rumah. Kini hidup kedua orang itu bahagia. Meski hanya tinggal berdua dalam gubuk tua, tapi sekarang batinya tidak lagi sepi. Setiap saat anak-anaknya menderingkan telepon rumahnya. Suara-suara kecil menyimpulkan rasa lega dan senang. Walau dalam hati mereka, ingin bisa melihat dan mendengar langsung ocehan-ocehan itu. Tapi mereka harus menunggu hingga liburan atau lebaran datang.

****

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun