Latar Belakang Kasus Pagar Laut di TangerangÂ
Pembangunan pagar laut di Tangerang merupakan proyek infrastruktur yang dilakukan di kawasan pesisir dengan tujuan tertentu, seperti perlindungan dari abrasi atau pengelolaan pesisir. Namun, dalam perjalanan kasus ini, terdapat sejumlah masalah hukum, baik yang berkaitan dengan hak atas tanah, izin, dan dampak lingkungan yang mungkin tidak sesuai dengan regulasi yang ada.
Penerapan Hukum Positif
Dalam perspektif filsafat hukum positivisme, yang utama adalah mematuhi peraturan yang berlaku dan prosedur yang sah yang ditetapkan oleh otoritas hukum. Proses pembangunan pagar laut di Tangerang harus dinilai berdasarkan regulasi yang ada. Beberapa peraturan yang relevan dalam konteks ini adalah:
a. Peraturan Tentang Penataan Ruang
- Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang: Undang-Undang ini mengatur tentang penggunaan ruang, termasuk perencanaan tata ruang yang harus mematuhi peraturan zonasi yang ditetapkan oleh pemerintah. Dalam hal ini, pembangunan pagar laut harus sesuai dengan rencana tata ruang wilayah dan tidak boleh bertentangan dengan kebijakan zonasi yang ada.
b. Peraturan Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
- Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup: UU ini mengatur tentang kewajiban untuk melakukan analisis dampak lingkungan (AMDAL) atau dokumen lingkungan lainnya sebelum melakukan pembangunan yang berpotensi merusak lingkungan. Pembangunan pagar laut yang dilakukan tanpa kajian lingkungan yang benar bisa melanggar ketentuan ini.
c. Peraturan Tentang Pengelolaan Tanah dan Sertifikat Tanah
- Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA): UU ini mengatur tentang hak atas tanah, yang mencakup hak guna bangunan (HGB), hak milik, hak sewa, dan sebagainya. Pembangunan pagar laut yang dilakukan di atas tanah yang tidak sesuai dengan status hukum tanahnya atau tanpa izin yang sah bisa melanggar UUPA.
d. Pencabutan SHGB (Sertifikat Hak Guna Bangunan)