Kadang, kisah paling hangat justru muncul di antara gerbong penuh dan meja kantor yang dingin. Buatku, perjalanan sebagai ibu komuter bukan cuma soal kerja dan lelah, tapi juga tentang orang-orang baik yang kutemui di sepanjang jalan.
Ini salah satunya—kisah kecil dari perjalanan besar bernama hidup.
Empat bulan sudah aku menapaki rutinitas baru—bekerja di kantor besar di pusat kota, setelah pindah dari daerah dan menuntaskan studi. Setiap pagi, aku jadi bagian dari lautan wajah di dalam kereta: para pegawai, para ibu, semua berkejaran dengan waktu. Di antara mereka, aku hanya satu dari sekian banyak yang menenteng tas kerja dan mimpi sederhana: bisa menyesuaikan diri.
Awalnya, kantor ini terasa asing dan kaku. Ruang-ruang besar dengan wajah-wajah yang sudah saling kenal lama membuatku merasa seperti tamu yang belum tahu di mana letak dapur. Tapi hidup kadang memberi kejutan kecil dengan cara yang lembut.
Aku bertemu dua teman baru—mereka dulu adalah tangan kanan direktur utama dan direktur keuangan. Semua orang mengenal mereka; semua orang menghormati mereka. Setelah para direktur pensiun, keduanya pindah ke divisi tempatku bekerja. Rasanya seperti kebetulan yang terlalu manis untuk diabaikan.
Yang lucu, setiap kali aku berjalan dengan salah satu dari mereka, suasananya langsung berubah. Setiap sudut kantor tiba-tiba penuh sapaan dan senyum. Orang-orang melambai, memanggil nama mereka, menepuk bahu, seolah menyambut selebritas. Dan aku, yang berjalan di samping mereka, ikut tersenyum dan mengangguk, pura-pura seolah sapaan itu juga untukku.
Tapi dalam diam, aku bersyukur. Karena di tengah gedung besar yang kadang terasa dingin, dua sosok itu membuatku merasa hangat. Mereka membuatku merasa: mungkin aku juga bagian dari tempat ini.
Beberapa minggu lalu, aku mendapat kabar mendadak: aku diminta menjadi MC untuk acara kantor. Antusias, tentu saja. Tapi ada satu masalah kecil—aku tak punya sepatu yang layak untuk acara resmi.
Mendengar itu, dua temanku, si “duo sekretaris,” langsung berkata hampir bersamaan, “Ayo, kita cari bareng!” Tanpa pikir panjang, mereka menemaniku berkeliling mencari sepatu yang pas—bukan cuma yang cocok dengan dress code, tapi juga dengan dompetku.
Sepanjang jalan, kami tertawa, mencoba beberapa pasang sepatu, membandingkan harga dan model. Saat akhirnya aku menemukan satu yang pas, aku menatap mereka dan merasa terharu. Bukan karena sepatunya, tapi karena perhatiannya.
Aku jarang punya teman yang mau repot-repot sejauh itu. Apalagi dari dua orang yang begitu disegani di kantor. Tapi di antara tawa dan langkah kecil di toko sepatu itu, aku merasa diterima—bukan karena aku siapa, tapi karena mereka tulus.
Kadang, perjalanan di kota besar ini tak cuma soal kereta yang penuh atau pekerjaan yang menumpuk. Kadang, yang membuat semuanya terasa ringan adalah hadirnya teman-teman baik—yang membuat kita merasa tak lagi sendirian di perjalanan panjang bernama hidup ini.