Mohon tunggu...
Widya
Widya Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Mahasiswa universitas maritim raja ali Haji

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Opini: Penyelenggaraan Pilkada yang Bebas Korupsi

5 Desember 2020   21:58 Diperbarui: 5 Desember 2020   23:19 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Perkenalkan nama saya Widya, dari Universitas Maritim Raja Ali Haji, Prodi Pendidikan Bahasa Inggris, ingin mengajukan pendapat saya mengenai "Penyelenggaraan Pilkada bebas korupsi" . 

Penyelenggaraan Pemilihan kepala daerah(Pilkada) yang bebas korupsi, untuk mewujudkan penyelenggaraan pilkada yang bebas korupsi maka keinginan dan nafsu kekuasaan dari mantan narapidana korupsi untuk kembali mencalonkan diri dalam pilkada harus dihadang. Jika Sikap mantan narapidana korupsi untuk berkeras kembali mencalonkan diri dalam pilkada merupakan bentuk pengabaian etika dalam berpolitik. Dan Begitu juga dengan partai politik yang memberi ruang pencalonan bagi mantan narapidana korupsi. Sekalipun tidak ada aturan hukum yang melarang, partai politik harus tetap mempertimbangkan etika politik tersebut. Sebagai salah satu pilar utama demokrasi, partai politik harus berdiri di barisan terdepan dalam memberikan pendidikan politik kepada publik bahwa jabatan publik di lembaga eksekutif dan legislatif harus diisi figur-figur beretika dan berintegritas. 

Kepala daerah yang tersandra oleh kasus korupsi bisa mencalonkan diri Seperti gubernur, wakil gubernur maupun bupati,dan wali kota dan lain-lain. Pada saat menjabat kepala daerah tersebut mereka diduga melakukan tindak pidana korupsi karena kasus tindak korupsinya masih diproses di KPK sehingga kepala daerah tersebut berkesempatan mencalonkan diri. 

Jika ditanya boleh atau tidak masyarakat melarang kepala daerah yang terjerat kasus tindak pidana korupsi mencalonkan diri?  

Jawabannya boleh. Masyarakat berhak Mengungkapkan protes terhadap kepala daerah yang terjerat kasus tindak pidana korupsi yang ingin mencalonkan diri.

Kebebasan merupakan Hak Asasi Manusia (“HAM”) sebagaimana dilindungi oleh Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”) yang berbunyi: setiap orang berhak atas kebebasan berserikat,berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. 

 Hak ini juga tertuang dalam Pasal 44 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (“UU HAM”) Setiap orang baik sendiri maupun bersama-sama berhak mengajukan pendapat, permohonan, pengaduan, dan atau usulan kepada pemerintah dalam rangka pelaksanaan pemerintahan yang bersih, efektif, dan efisien, baik dengan lisan maupun dengan tulisan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 

Jika kepala daerah yang tersandra kasus tindak pidana korupsi ingin mencalokan diri saat pilkada maka peran komisi pemilihan Umum(KPU) provinsi dan KPU kabupaten/kota dan bawaslu sebagai penyelenggaraan Pilkada untuk turut memantau dengan mempublikasikan latar belakang pasangan calon(paslon) kepala daerah yang ingin mencalonkan diri dan tidak membolehkan orang yang pernah melakukan korupsi atau tersangka yang terjerat kasus korupsi yang masih di proses kpk mengikuti pilkada dan kita sebagai masyarakt pun boleh menilai kerja KPU dalam hal ini agar tetap turut berpartisipasi dalam memantau transparansi dan performa KPU. Agar pilkada berjalan secara transparan, jujur,adil dan terbuka supaya masyarakat tidak salah memilih pasangan calon kepala daerah dan kita sebagai masyarakat juga harus bisa memilih kepala daerah yang amanah bertanggung jawab dan tidak pernah melakukan tindak pidana korupsi dan tidak memilih lagi kepala daerah yang pernah melakukan tindak pidana korupsi karena kita sudah memberi dia kesempatan untuk memimpin daerah tetapi dia malah melakukan hal yang memalukan dan sangat buruk tersebut.

Jika kepala daerah yang terjerat kasus tindak pidana korupsi itu ingin mengikuti pilkada maka dia harus selesai menjalankan masa hukuman penjaranya dan mengemukakan secara terbuka dan jujur kepada publik bahwa dia adalah mantan terpidana . Bagi mantan terpidana yang telah selesai menjalani masa pemidanaanya, secara kumulatif, wajib memenuhi syarat secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik dan bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang maksud dari pelaku kejahatan yang berulang adalah dia tidak mengulang kembali melakukan hal yang jelek tersebut dan seharusnya dia setelah terkena kasus tersebut sadar dan menjadi pemimpin yang amanah dan bertanggung jawab bukan mengulangi kesalahan yang sama. dan berikut ini adalah dokumen-dokumen persyaratan yang wajib di serahkan kepada komisi pemilihan umum(KPU) provinsi atau KPU kabupaten/kota antara lain sebagai berikut:

1. surat dari pemimpin redaksi media massa lokal atau nasional yang menerangkan bahwa bakal calon telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik sebagai eks napi dengan disertai buktinya;

2. surat keterangan yang menyatakan bahwa bakal calon yang bersangkutan bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang;

3. surat keterangan telah selesai menjalani pidana penjara dari kepala lembaga permasyarakatan;

4. surat keterangan telah selesai menjalani pembebasan bersyarat, cuti bersyarat atau cuti menjelang bebas dari kepala lembaga pemasyarakatan, dalam hal bakal calon mendapat pembebasan bersyarat, cuti bersyarat atau cuti menjelang bebas; dan

5. putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap;

Jadi, sepanjang yang bersangkutan atau pelaku tindak pidana korupsi telah memenuhi persyaratan dan secara khusus persyaratan yang diterangkan di atas, maka pelaku tindak pidana korupsi dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah.  Secara teori, dalam konsep lembaga permasyarakatan, seseorang yang telah keluar dari penjara merupakan orang yang sudah baik perilakunya, orang tersebut dianggap menjadi baik kembali. 

Jadi problemnya sekarang adalah kurangnya keteladanan pemimpin. Sementara keteladanan itu dimulainya dari atas. Jadi budaya malu itu harus dibangun dari atas. Kalau atasnya busuk ya bawahnya busuk. Kalau atasnya tidak punya budaya malu dan tidak konsisten, ya orang-orang akan meniru.  Selama kita tidak bisa mengubah mentalitas itu, maka tidak akan ada perubahan signifikan yang terjadi. Perubahan mentalitas itu hanya bisa terjadi kalau kita mengalami pencerahan, dan pencerahan harus dimulai pada pendidikan dasar dan memberikan sosialisasi kepada masyarakat kita yang tidak bersekolah karena mereka kekurangan ilmu dan informasi agar mereka mendapatkan pencerahan maka menurut saya sosialisasi lah yang bisa memberi pencerahan kepada masyakat. Selama orientasi pembangunan kita sifatnya materialistis, dan hedonistis menjadi cara kita mengekspresikan kebudayaan, maka pendidikan nilai itu pun tidak akan pernah terjadi. 

Jadi persoalannya adalah harus ada yang membongkar mindset(pola pikir)bahwa keberhasilan jangan hanya dinilai dari materi, tapi juga harus dari karakter, keteguhan, prinsip kejujuran, keadilan. Dan, nilai-nilai itulah yang harus dikedepankan dibandingkan aksesori lain.  Dan kita seharusnya sebagai masyarakat tidak menerima uang atau apa pun sejenis suap yang di berikan paslon agar kita memilih dia di saat pemilu, karena hal yang harus kita nilai dari paslon tersebut adalah bagaimana sikap dan prilakunya ,kejujuran dan bertanggung jawab serta keadilan untuk masyarakat nilai-nilai itulah yang harus di utamakan bukan materi yang di inginkan masyrakat adalah pasangan calon(paslon) yang bisa memimpin daerah dengan jujur dan memilik kepribadian yang baik bisa menjadi teladan. 

Problem kita, selama ini kita tidak pernah mengalami revolusi kebudayaan dalam arti membangun sebuah habitus. Padahal, persoalan korupsi, manipulasi, kemerosotan moral itu hanya bisa dijawab ketika kita tercerahkan. Untuk menuju ke sana, sekaranglah saatnya gabungan orang-orang baik tampil mengisi publik untuk memberi contoh dan menjadi teladan, untuk membenahi pendidikan dasar kita, dan untuk mulai membangun budaya malu bersamaan dengan langkah-langkah penegakan hukum.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun