Mohon tunggu...
Widuri Melati
Widuri Melati Mohon Tunggu... Penulis - BMI

Widuri Melati Penulis Cerpen Perawat Lansia

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Kulukis Wajahmu di Atas Langit

30 April 2019   11:57 Diperbarui: 30 April 2019   16:40 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh: Widuri Melati

Jatuh cinta adalah makna rasa dalam dada, kalian tak akan menemukan yang namanya manis, selama belum kalian rasakan jatuh cinta itu apa. Namun pernah kalian merasakan jatuh cinta dengan orang yang belum sama sekali ditemui? Justru perasaan ini aneh, seperti ujung magnet yang berbeda, yang satu ujungnya akan terus saling tarik-menarik. 

Beberapa bulan yang lalu aku mengenal dia, seorang laki-laki yang tak muda lagi. Aku tak pernah berharap akan jatuh cinta dengannya. Iya, nyatanya siapa manusia yang sanggup merencanakan dengan siapa dia akan jatuh cinta, tidak ada bukan. Semua terjadi begitu saja, melalui senyumnya atau tatap matanya.

Setiap malam kita intens melakukan video call, bercerita, atau sekedar bercanda. Ini biasa, aku yakin sebagian orang pernah mengalami masa-masa ini. Lalu selang berapa lama, wajahnya terus terlukis di alam pikiran aku. Iya, senyumnya, riang tawanya, juga tatapan matanya. 

Jatuh cinta juga merupakan hal paling lelah yang pernah aku lakukan, melebihi maraton di pagi hari; semakin hari aku sulit menempatkan diri, aku tidak bisa membohongi kekagumanku dengan dia. Aku cemburu setiap melihat dia bercengkrama dengan banyak wanita, ingin marah namun siapakah aku di kehidupan dia? 

"Kamu sayang aku?" 

Malam itu ku beranikan diri bertanya, aku yakin ini gila. Tapi jika dia tidak memiliki rasa dengan aku, kenapa dia begitu memperlakukan aku lebih. 

"Coba lihat mata aku sini!" katanya.

Ah! Mataku terlalu jujur untuk berbohong. Aku bahkan bingung menjelaskan perasaanku saat ini. 

"Aku... A ... A ... Aku, malu!" jawabku gugup. 

Dia tertawa, entah apa yang menurutnya dia lucu sehingga harus tertawa kuat-kuat. Dan dadaku sudah tak bisa diluruskan. Aku bingung dengan keadaan saat ini, bahkan untuk menggeser posisi duduk pun aku tak berani; seluruh tubuhku menjadi sangat kaku. 

"Bodoh! Pertanyaan macam apa barusan? Kamu bodoh, Mel. Bodoh banget!" hatiku terus berisik memarahi diri sendiri. 

"Ayok! Sini lihat wajah aku!" Dewa terus meminta tanpa mengerti aku sedang kebingungan menempatkan diri. 

Aku pikir dengan mengalihkan pembicaraan Dewa akan melupakan pertanyaan aku barusan. Baiklah! Lebih baik aku mengganti topik obrolan.

"Bagaimana kerjaan kamu hari ini?" 

Iya, anggap saja ini usaha mengalihkan topik mencari jalan aman. 

Dewa hanya senyum-senyum memandang gelagak tubuh ku yang kebingungan. Aku meliriknya sesekali, ternyata dia masih memandang wajahku dari balik layar telepon genggam. Sungguh aku kebingungan, kenapa barusan harus keluar obrolan seperti tadi. 

***

Siang ini cuaca sangat panas, langit seperti sedang sangat bersahabat dengan matahari. Sehingga mataku ini tak sanggup menahan silau warna biru langit yang cerah. 

Suara burung-burung pun riang berkicau, seakan mereka paham bahwa ada rasa yang tengah butuh dihibur siang ini. Sayang, ternyata bagiku ini berisik. 

"Apa dia masih mau jadi teman aku ya? Duh aku jadi malu setelah kejadian semalam." 

Sambil duduk di bawah pohon samping rumah, aku memandang langit yang sedikit bisa ku raba. Sebab di bawah pohon suasana lumayan sejuk karena rindangnya dedaunan. Kembali ku gambarkan wajah Dewa, mengguratkan bibir tipisnya, senyuman manjanya, juga ada hal yang selalu lucu dari setiap celotehan ucapannya. 

"Ah! Apa si ini?" 

"Dewa lagi, Dewa lagi!" 

Tapi seandainya dia paham, iya. Seandainya jarak ini sanggup aku tempuh hanya dengan meng-ngedip-kan mata. Aku akan datang tepat di hadapan dia, dan meminta pertanggung jawaban. Untuk apa? Iya karena dia aku jadi jatuh cinta begini. 

"Hem!" aku membuang nafas. 

Tidak apa-apa jika kamu ternyata lebih tua dari aku, Dewa. Bahkan sekalipun kamu beranak satu, pun tiga. Cinta iya tetap tidak bisa dipaksa minggat. Biarlah kali ini mencintai kamu hanya lewat cara begini, membayangkan wajah kamu di langit, sambil terus melangit kan namamu, memohon kepada pemilik hati ini untuk memberikan kamu untuk menjadi imam ku kelak. Iya, kelak jika Allah mempertemukan kita sebagai jodoh. 

"Hah! Dewa?" 

Aku melihat wajah Dewa tersenyum dari atas langit. 

Indramayu, 30 April 2019.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun