Menteri Keuangan Sri Mulyani baru-baru ini menyampaikan proyeksi defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2025 yang diperkirakan mencapai Rp662 triliun, atau sekitar 2,45% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Angka ini bukan sekadar statistik fiskal, tetapi cermin dari dinamika ekonomi, politik anggaran, dan tantangan struktural yang dihadapi Indonesia.
Defisit dalam APBN bukanlah hal baru. Namun, yang menjadi perhatian adalah tren defisit yang terus meningkat sementara kualitas belanja publik masih dipertanyakan. Di satu sisi, kita dihadapkan pada kewajiban belanja besar seperti subsidi energi, pembangunan infrastruktur, pendidikan, hingga ketahanan pangan. Di sisi lain, penerimaan negara dari perpajakan masih rendah jika dibandingkan dengan negara-negara sebaya di kawasan ASEAN.
Mengapa defisit ini terjadi?
Beberapa faktor utama penyebabnya antara lain:
1.Ketergantungan pada utang dan pembiayaan luar negeri: Ketika pendapatan negara stagnan atau tumbuh lambat, sementara kebutuhan belanja meningkat, pemerintah cenderung menutup celah itu melalui utang.
2.Rendahnya tax ratio: Hingga saat ini, tax ratio Indonesia masih di bawah 12%, jauh di bawah rerata negara OECD atau bahkan beberapa negara Asia Tenggara. Ini menunjukkan masih besarnya potensi penerimaan yang belum tergarap.
3.Kebocoran anggaran dan korupsi: Efektivitas belanja negara seringkali terkikis oleh praktik korupsi, proyek fiktif, dan pengadaan bermasalah yang masih menghantui banyak sektor.
4.Subsidi yang kurang tepat sasaran: Belanja negara masih banyak dialokasikan untuk subsidi energi yang kadang tidak adil secara sosial maupun tidak efektif secara ekonomi.
Uang Sitaan Korupsi: Solusi Parsial yang Belum Maksimal
Di tengah defisit yang terus melebar, negara sebenarnya memiliki sumber daya tambahan yang belum dimanfaatkan secara optimal: uang sitaan hasil korupsi. Sepanjang tahun 2024, Kejaksaan Agung mencatat nilai uang dan aset yang disita dari berbagai kasus mencapai Rp44,14 triliun, namun yang berhasil masuk ke kas negara baru sekitar Rp1,7 triliun.
Memasuki paruh pertama 2025, negara kembali menyita uang tunai lebih dari Rp13 triliun hanya dari kasus ekspor CPO, menjadikannya salah satu penyitaan terbesar dalam sejarah hukum Indonesia. Sayangnya, sebagian besar uang ini masih berada dalam proses hukum, tertahan dalam rekening penampungan, atau belum dilelang karena belum inkracht.
Jika uang sitaan hasil korupsi bisa dipercepat masuk ke dalam kas negara dan dialokasikan dengan transparan, celah defisit bisa ditekan secara signifikan. Misalnya, 30% dari total Rp44 triliun uang sitaan yang berhasil digunakan akan menghasilkan hampir Rp13 triliun, yang bisa dimanfaatkan untuk program prioritas seperti pendidikan, infrastruktur desa, hingga ketahanan pangan.
Manfaat Uang Sitaan untuk Keadilan Sosial
Uang hasil sitaan korupsi bukan hanya soal akuntansi negara. Ia adalah bentuk pemulihan moral dan simbol keadilan yang nyata. Korupsi merampas hak-hak rakyat kecil: dari sekolah yang tak jadi dibangun, jalan desa yang tertunda, sampai akses kesehatan yang minim. Maka, ketika uang itu kembali ke negara, mestinya langsung diarahkan ke akar persoalan. Ini bukan soal balas dendam, tapi soal pemulihan.
Misalnya, dalam kasus BTS Kominfo yang merugikan triliunan rupiah, alangkah baik jika uang hasil sitaan langsung digunakan untuk membangun infrastruktur jaringan di desa-desa terluar yang selama ini tidak tersentuh layanan digital. Atau dalam kasus tambang ilegal di Kalimantan, aset sitaan berupa uang dan alat berat dapat dikonversi menjadi program reboisasi, pemurnian air, dan pemberdayaan ekonomi warga terdampak. Bahkan uang dari kejahatan narkoba sebaiknya dialokasikan untuk rehabilitasi dan kampanye pencegahan, bukan sekadar menambah kas negara.
Apa yang bisa dilakukan?
Pertama, pembenahan perpajakan harus menjadi prioritas nasional. Ini bukan hanya soal menaikkan tarif, tapi memperluas basis pajak, memperbaiki kepatuhan, serta menutup celah penghindaran pajak oleh korporasi besar. Pajak digital dan reformasi pajak karbon juga harus dilanjutkan.
Kedua, rasionalisasi belanja negara sangat diperlukan. Anggaran harus difokuskan pada belanja produktif: pendidikan, kesehatan, inovasi teknologi, dan pembangunan berkelanjutan. Proyek-proyek mercusuar yang tidak berorientasi rakyat harus ditinjau ulang.
Ketiga, penguatan tata kelola dan transparansi anggaran. Setiap rupiah yang dibelanjakan negara harus bisa dipertanggungjawabkan, tidak hanya di atas kertas, tapi juga dalam dampaknya terhadap masyarakat.
Keempat, optimalisasi aset negara dan percepatan pemanfaatan uang sitaan korupsi. Pemerintah harus mempercepat proses lelang, memperjelas status hukum aset yang disita, dan menerapkan sistem earmarking: uang hasil korupsi dari sektor tertentu dikembalikan ke sektor tersebut, misalnya pendidikan, kesehatan, atau lingkungan. Transparansi ini penting agar publik tahu bahwa uang yang dicuri benar-benar kembali untuk kesejahteraan mereka.
Kelima, sinergi pusat dan daerah dalam efisiensi anggaran. Banyak tumpang tindih program pusat dan daerah yang membuat pemborosan fiskal. Sinkronisasi perencanaan dan eksekusi anggaran harus menjadi agenda bersama.
Keenam, memanfaatkan momentum reformasi hukum untuk mempercepat pemulihan aset. Pemerintah bersama DPR perlu menyempurnakan regulasi tentang perampasan aset, memperkuat kewenangan penyidik, dan mempercepat proses inkracht. Kita tidak bisa terus membiarkan uang sitaan mengendap bertahun-tahun tanpa kejelasan.
Penutup: Saatnya Uang Rakyat Kembali ke Rakyat
Defisit bukan sekadar soal angka merah dalam neraca fiskal. Ia adalah refleksi dari bagaimana kita mengelola negara ini dengan etika dan tanggung jawab. Dalam kondisi geopolitik yang tidak menentu dan tekanan ekonomi global yang masih tinggi, pengelolaan fiskal yang disiplin, adil, dan berkeadilan sosial adalah keharusan.
Kita tentu tidak ingin generasi mendatang memikul beban utang yang kita biarkan membesar tanpa kendali. Maka, defisit ini harus dijawab bukan hanya dengan strategi ekonomi, tapi dengan keberanian politik, kejujuran moral, dan keberpihakan yang tegas kepada rakyat.
Dan salah satu bentuk keberpihakan paling konkret adalah dengan memastikan bahwa setiap rupiah yang pernah dicuri dari rakyat benar-benar dikembalikan kepada rakyat. Bukan mengendap di laporan tahunan atau hilang dalam rumitnya birokrasi, tapi bekerja untuk rakyat: membangun sekolah, memperbaiki jalan desa, menyambung jaringan listrik, dan memulihkan lingkungan.
Defisit bisa jadi sinyal krisis. Tapi bisa juga jadi momentum perubahan. Jika kita berani bertindak sekarang, maka kita sedang menyusun kembali fondasi ekonomi yang lebih sehat, lebih bersih, dan lebih adil bagi semua.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI