Tak jauh dari tempat tinggal saya ada jalan yang cukup ramai dengan berbagai usaha kuliner. Dari yang berjualan di kios, warung tendaan, ruko, hingga gerobak dorong yang mangkal.
Banyak beberapa di antaranya termasuk bertahan lama dan memiliki pelanggan setia yang tak sedikit. Sebutlah warung pecel lele Lamongan yang memiliki menu andalan ayam penyet dengan sambal yang langsung diuleg dan dipenyet langsung pada daging ayamnya. Karena citarasa sambalnya berbeda dengan warung Lamongan pada umumnya, maka tak heran jika tiap malam warung itu seolah tak pernah sepi.
Ada pula penjual cimol dan cilor yang sudah bertahun-tahun jadi langganan kalangan Gen Z. Tiap malam juga terlihat antrean yang tak pernah sepi, meskipun kios dan dapur abangnya terlihat sempit.
Sementara kalau pagi, ada penjual pecel sayur yang menyediakan gendar, yang tampilannya mirip potongan ketupat tapi dengan cita rasa yang berbeda.
Namun, favorit saya tentu saja es selendang mayang khas Betawi yang sudah berjualan lebih dari 30 tahun di tempat yang sama dengan gerobak dorongnya.
Melihat potensi Jalan Noble, yang masuk wilayah Kecamatan Bojonggede, Bogor itu, saya membayangkan sebuah jalan yang bisa saja menjadi the next Jalan Suryakencana yang tersohor sebagai pusat kuliner di Kota Bogor.
Sayangnya, harapan saya mungkin terlalu berlebihan. Mengingat, banyak usaha kuliner lainnya di Jalan Noble ternyata banyak yang berganti karena tak bisa bertahan lama.
Sebutlah warung gohyong, warung ayam geprek, hingga nugget pisang yang menurut saya rasanya boleh juga. Tapi mereka tak bertahan lama dan menghilang begitu saja.
Namun, karena lokasinya yang terbilang ramai, keberadaan penjual yang hilang itu tergantikan dengan usaha-usaha kuliner yang baru, dan tentu belum bisa dibilang legend karena baru seumur jagung.
"Iya Pak, saya baru seminggu jualan, masih trial and error," ujar mas-mas yang membuka usaha pisang bakar dan pisang goreng.