Di belakang Stasiun Bojonggede memang banyak penjual takjil musiman, mereka menata meja dan memasang terpal untuk berjualan takjil di pinggiran jalan yang dilalui orang pulang kerja yang turun dari kereta.
Namun, favorit saya tetap gorengan yang dijual di warung nasi uduk. Saat Ramadan mereka buka sore hari dan menjual aneka takjil dari gorengan hingga kolak.
Hanya saja, karena sudah terkenal enak dan lengkap, warung itu cepat sekali sold out. Seperti dua hari lalu ketika saya ke sana, sudah tidak ada lagi pisang coklat alias piscok favorit saya.
"Habis Pak," ujar teteh penjualnya.
Selain warung itu, ada lagi warung favorit saya yang lokasinya berjarak 600 meter dari rumah saya. Hanya saja sepanjang Ramadan ini saya belum pernah membeli di tempat itu.
"Habis semua Pak," ucap ibu pemilik warung, sambil merapikan nampan-nampan kosong yang semula penuh dengan aneka takjil.
Ya, tantangan saya dalam war takjil kali ini adalah keterbatasan waktu, terutama di hari kerja. Bukan persaingan dengan orang lain.
Saya masih bisa berpindah ke banyak penjual lain jika kehabisan takjil. Tapi tentu bisa jadi dapatnya takjil yang kurang sesuai dengan lidah saya.
Kondisi jalanan macet juga menjadi tantangan tersendiri. Jalan yang saya lalui, dari Stasiun Bojonggede hingga menuju Jalan Raya Pemda, selalu macet ketika sore hari menjelang berbuka.
Saya bahkan sempat terjebak kemacetan kurang lebih 30 menit di jalan, kemarin sore, dan dalam kondisi sedang menuju perburuan takjil sembari pulang ke rumah.