Rasa kebersamaan inilah yang membuat Sahir selalu bersemangat untuk berdagang. Ia tidak takut meski merantau ribuan kilo meter dari kampung halaman dan mesti beradaptasi dengan lingkungan yang baru.
Bagi Sahir, keuntungan dari cara berdagang yang ia lakukan memang tak seberapa. Keuntungan itu telah diperhitungkan dengan ongkos perjalanan, biaya makan dan biaya sewa kontrakan. Terkadang ia pulang hanya membawa keuntungan dua ratus ribu, empat ratus ribu atau lima ratus ribu rupiah. Keuntungan itu Sahir berikan ke istrinya untuk biaya hidup sehari-hari serta untuk biaya sekolah kedua anaknya yang masih duduk di bangku SMP dan SD.
Kehidupan Sahir di Jepara memang jauh dari kata mewah. Bahkan ia menggambarkan dirinya sebagai orang kere (miskin) meskipun telah bekerja keras selama bertahun-tahun.
Modal yang ia miliki untuk berdagang hanyalah modal kepercayaan dari pabrik atau distributor pemasok barang. Kadang kala Sahir terpaksa berhutang dahulu dan ia akan membayar setelah barang dagangan laku dijual.
“Foto saya sudah disimpan sama yang punya pabrik Mas, lagi pula saya sudah dikenal, jadi mereka percaya saja kalau saya yang ambil barang untuk dijual lagi.”
Saat ini Sahir tidak berpikir ia akan buka usaha sendiri di kampung halamannnya. Ia lebih nyaman dengan pekerjaan yang dilakukan sekarang.
“Banyak saingan di Jawa, modal puluhan juta juga tidak cukup Mas, apalagi kayak saya yang tidak punya apa-apa seperti tanah atau sawah, bank tidak akan mau ngasih saya modal banyak,” keluhnya.
Sebuah keluhan jujur yang membuatku termenung sejenak. Betapa di negeri ini aset seperti tanah, yang menguasai sekian ratus atau ribuan hektar, hanyalah segelintir orang-orang berduit dan dekat dengan kekuasaan. Di tangan merekalah perputaran uang negeri ini dikendalikan. Lalu untuk rakyat kecil seperti Sahir? Mungkin hanya ampasnya yang didapat.
Bisa saja Sahir tetap hidup di desanya dan menjadi buruh tani untuk menyambung hidupnya. Tapi jiwa petualang sekaligus jiwa pedagangnya terlalu kuat. Ia juga telah menemukan kebahagiaan dalam kebersamaan bersama rekan-rekan sesama pedagang.
“Yang penting saya bisa bekerja Mas, halal. Saya lebih senang begini karena saya bisa punya pengalaman lebih daripada orang lain. Mungkin keuntungan kerja di sawah di kampung sendiri sama dengan yang saya lakukan sekarang. Tapi saya suka pengalamannya Mas, bisa untuk bahan cerita... Lagi pula sekarang toh banyak yang sekolah tinggi-tinggi tapi malah nggak dapat kerja atau nggak mau usaha.”
Tak terasa langit di atas Teluk Kendari sudah mulai gelap. Perbincangan kami sudah panjang rupanya. Aku pun memilih sebuah terompet dan membayarnya.