Mohon tunggu...
Widi Admojo
Widi Admojo Mohon Tunggu... Guru - Widiadmojo adalah seorang guru, tinggal di Kebumen

sedikit berbagi semoga berarti

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ekspansi Perempuan dan Penjajahan Dominasi Laki-laki

9 Maret 2020   14:28 Diperbarui: 9 Maret 2020   14:36 311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dokumentasi penulis

Perempuan, semakin hari semakin terbela. Ya. Posisi perempuan makin hari semakin eksis. Sedangkan, patriarki semakin lama semakin terkikis. Dominasi perempuan justru semakin merebak. Berikut pula dengan kualitas perempuan pun juga semakin menaik baik grafik kualitasnya itu sendiri maupun grafik volume jumlah personanya. Banyak sudah pemimpin-pemimpin perempuan, tokoh-tokoh perempuan diberbagai bidang yang melebihi dari kemampuan laki-laki. Namun demikian, seberapa jauh ekspansi perempuan merebut dominasi laki-laki ini bisa disebut memasuki sebuah kelaziman yang lumrah ? Ataukah sebuah fenomena yang kebablasan yang menohok hak dan kewenangan laki-laki ?

Ya. Saat ini bila diukur dari beberapa masa sebelumnya. Tentu perempuan sudah cukup bernasib membaik. Dalam arti banyak regulasi-regulasi serta forum-forum, sampai pada lembaga-lembaga "N G O"  yang secara khusus mengadvokasi, melindungi, dan memproteksi perempuan agar berada pada tempat yang terhormat dan memiliki hak yang sama dengan kaum laki-laki. 

Sebut saja misalnya, sekarang ada komnas perempuan, beraneka ragam rancangan undang-undang yang berbicara tentang kekerasan seksual dan perlindungan perempuan. Demikian halnya pembelaan-pembelaan terhadap perempuan juga mulai marak dan dibicarakan secara serius.

Beberapa kebijakan yang terkait dengan rekruitmen personalia saat ini juga memberikan alokasi atau kuota khusus pada perempuan. 

Ada prosentase minimal yang harus diisi oleh perempuan dalam setiap rekruitmen personalia diberbagai kelembagaan. Artinya, perempuan sudah semakin eksis sehingga bolehlah berharap bahagia seperti juga tulisan buku yang pernah ditulis RA Kartini, "Habis gelap terbitlah terang".

Namun demikian, mengikisnya patriarki, dan ekspansifnya perempuan diberbagai bidang, adakalanya memang menimbulkan ekses-ekses atau gesekan-gesekan dilain sisi. Ada beberapa masalah yang tentu muncul. Mulai dari "penolakan budaya", konflik antar gender, ketidaksinkronisasiannya di dalam budaya keluarga Indonesia, serta masalah sosio moralitas yang belum sepenuhnya siap dan sigap menghadapi perkembangan ekspansi perempuan ini.

Pertama adalah konflik budaya. Budaya lama masih kental bahwa laki-laki adalah figur pokok dalam berbagai peran diberbagai bidang kegiatan maupun persoalan. Wanita atau perempuan cukup sebagai pendengar, pengikut, pelaksana, dan tentu pelayan saja. 

Wanita atau perempuan tidak memiliki ruang untuk menentukan kebijakan, mengambil peran terdepan, dan atau mengambil alih sebuah persoalan atau kegiatan. 

"Kurang etik" barankali kata tersebut yang paling banyak muncul mana kala ekspansi perempuan terlalu masuk ke dalam bagian-bagian kewenangan yang secara lazim dimiliki oleh laki-laki atau kaum adam.

Dalam dunia pewayangan sebenarnya ekspansi perempuan ini sudah tersirat dalam berbagai cerita. Misalnya peran  "Sri Kandi" yang mengambil alih sebagai senopati perang membela negeri ngamarta dalam perang baratayuda. 

Sri Kandi adalah perempuan yang lihai dan memiliki kemampuan yang luar biasa dalam memanah. Sehingga ia diangkat sebagai salah satu senopati perempuan yang maju di medan perang.  

Ada juga Dewi Sembodro, Dewi Sri, Dewi Sinta dan lain sebagainya. Artinya dari dulu sebenarnya, tokoh wanita sudah dipopulerkan oleh para pengrakit seni yang luar biasa di negeri ini. Sehingga sebenarnya, masalah ekspansi wanita atau peran wanita dalam kehidupan sudah bukan barang baru.

Konflik berikutnya adalah konflik psikologis laki-laki.  Area psikologis laki-laki sebagai "the power man" rata-rata masih mendominasi para pria dan lelaki dalam berbagai bidang. Termasuk dalam keluarga, perkantoran, dan diberbagai ruang lainnya. 

Laki-laki masih tetap ingin sebagai raja, dan perempuan harus menjadi permaisurinya. Artinya, laki laki harus didepan dan perempuan dibelakangnya. Atau paling maksimal ada di samping kirinya. 

Problem paling berat barangkali bila ada konflik kepentingan di rumah tangga. Ekspansi perempuan bisa menjadi masalah serius. Karena laki-laki secara psikologis adalah raja di rumahnya. 

Bila mana dalam berbagai hal eksistensinya tergerus oleh peran dan kekuasaan wanita, maka problem psikologis ini dapat membahayakan dan mengancam keharmonisan keluarga.  

Sebut saja yang paling sederhana adalah kekuasaan dalam bidang ekonomi. Bila pendapatan ekonomi wanita di dalam rumah tangga lebih besar, maka secara psikologis ini dapat menggerus eksistensi laki-laki. Apalagi bila wanita menjadi pokok ekonomi dalam keluarga. 

Persoalan yang mengancamnya bagai "sumbu api" yang pendek. Tersentuh sedikit bisa terjadi kebakaran dan kehancuran. Laki-laki secara psikologis adalah pemenang. Ia ingin menjadi raja dimata anak, dimata istri, dimata mertua dan tetangga, dan kerabat lainnya. Ia tidak mau mendengar olokan bahwa dirinya adalah "pria lemah", pria yang ndompleng kehidupan wanita. 

Inilah yang kadang menjadi problem sehingga wanita juga merasa kawatir dan takut berkembang untuk berada di atas laki-laki. Takut mengerdilkan psikologis suaminya atau lelakinya. 

Sikap nrimo inilah yang menyebabkan wanita menjadi tidak maju tidak mau lanjut studi dan berkarir sepertia biasa saja kuatir nanti dipromosikan menjadi super tetapi menimbulkan masalah di rumah tangga.

Problem psikologis lainnya adalah "kesombongan baru" para perempuan atas kemampuan melakukan ekspansi gender ini. Perempuan menjadi tersanjung secara berlebihan karena secara kualitas baik ekonomi, intelektual, karir, dan potensi lainnya mampu mengimbangi kaum lelaki. 

"Keangkuhan baru" ini dapat menimbulkan efek domino yang beraneka ragam. Secara khusus yang paling tertohok pertama adalah keluarga. Ia akan merasa menjadi super power dalam rumah tangga. Penentu kebijakan yang diktator, bahkan kadang lebih bahaya lagi adalah memiliki "the good boy" sebagai ekspresi kemampuannya yang serba lebih dibanding laki-laki di rumahnya. Bila tidak dibarengi sikap dan moral yang baik maka ekspansi perempuan bisa juga berdampak pada ekses negatip yang lain. Mengambil kesempitan dalam kesempatan.

Menempatkan wanita atau perempuan secara layak adalah mutlak. Tetapi menempatkan secara berlebih dan menimbulkan ekses yang kurang baik tentu menjadi keprihatinan budaya dan moralitas kita. Bagaimana mengkondisikan wanita tetap eksi dan terhormat sesuai harkat dan martabatnya itulah yang ingin kita cari bersama. Semoga bermanfaat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun