Mohon tunggu...
Widhi Wedhaswara
Widhi Wedhaswara Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wakil Ketua DPP Hanura bid Seni Budaya

Ketika Budaya dan Teknologi Bersinergi

Selanjutnya

Tutup

Politik

Aksara Nusantara, Budaya Literasi dan Politisasi Hoaks

21 Oktober 2022   12:29 Diperbarui: 21 Oktober 2022   12:43 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Berbicara tentang budaya membaca, ketika tulisan tidak lagi hanya berbentuk simbol, tanah Nusantara sendiri menurut catatan sudah sangat jauh mengenal tentang aksara dan budaya literasi. Bukti tertua mengenai keberadaan Aksara Nusantara yaitu berupa tujuh buah yupa (tiang batu untuk menambatkan tali pengikat sapi) yang bertuliskan prasasti mengenai upacara waprakeswara yang diadakan oleh Mulawarman, Raja Kutai di daerah Kalimantan Timur. Tulisan pada yupa-yupa tersebut menggunakan aksara Pallawa dan Bahasa Sanskerta. Berdasarkan tinjauan pada bentuk huruf Aksara Pallawa pada yupa, para ahli menyimpulkan bahwa yupa-yupa tersebut dibuat pada sekitar abad ke-4 M.

Setidaknya sejak abad ke-4 itulah bangsa Indonesia telah mengenal bahasa tulis yang terus berkembang mengikuti perkembangan bahasa lisan. Perkembangan ini dimulai terutama sejak bahasa daerah (misalnya Bahasa Melayu Kuno dan Bahasa Jawa Kuno) juga dituangkan dalam bentuk tulisan selain dari Bahasa Sanskerta yang pada masa sebelumnya merupakan satu-satunya bahasa yang lazim dituliskan. Beberapa aksara kuno Nusantara yang mulai dilupakan oleh masyarakat umumnya, khususnya dalam perkembangan aksara yang dimulai dari aksara Pallawa dan Nagari. Aksara Pallawa berkembang menjadi aksara Kawi yang akhirnya menurunkan aksara-aksara kuno lainnya di Nusantara. Hal ini membuktikan bahwa sejak dahulu kala sebenarnya bangsa ini sudah paham tentang budaya literasi baca tulis.

Literasi membaca adalah kemampuan untuk memahami dan menggunakan bentuk bahasa tulis. Dengan sejarah masa lalu yang membuktikan kehebatan leluhur nusantara, mirisnya berdasarkan survei yang dilakukan Program For Internasional Student Assessment (PISA) Indonesia saat ini menempati urutan ke 64 dari 70 negara, atau merupakan 10 negara yang literasi membacanya paling rendah. Beberapa lembaga survei menyatakan fakta tentang rendahnya budaya literasi di Indonesia.  Pada penelitian yang sama ditunjukkan, Indonesia menempati urutan ke-57 dari 65 negara dalam kategori minat baca. Data Unesco menyebutkan posisi membaca Indonesia 0.001%---artinya dari 1.000 orang, hanya ada 1 orang yang memiliki minat baca.

Hasil survei tersebut cukup memprihatinkan dimana sebagai negara dengan mayoritas penduduk Islam, bahkan perintah pertama kepada Nabi Muhammad SAW adalah "Iqra" atau membaca dan Menurut pendiri Pusat Studi Al Quran, M. Quraish Shihab, kata iqra pada ayat pertama surat Al Alaq di atas diambil dari akar kata yang artinya menghimpun. Arti tersebut kemudian melahirkan beragam makna seperti menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu, dan membaca teks tertulis atau tidak tertulis.

Sejalan dengan rendahnya tingkat literasi dan tingkat kecerdasan (IQ) masyarakat Indonesia, perkembangan teknologi dipadu dengan politisasi saat ini, budaya penyebaran hoaks dan informasi negatif serta ujaran kebencian berkembang dengan pesat. Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Niken Widiastuti menyampaikan, salah satu penyebab hoax banyak membanjiri media sosial lantaran kebiasaan pengguna media sosial yang tidak melakukan verifikasi informasi. Apalagi pola komunikasi di dunia maya yaitu 10-to-90. Artinya 10 persen pengguna memproduksi konten, sementara 90 persen tanpa diminta menyebarkan konten tersebut, termasuk konten-konten yang negatif.

Menjelang perhelatan pemilu 2024, pola - pola sebaran informasi hoaks, ujaran kebencian yang keabsahannya diragukan masih tetap kencang menyebar bahkan hingga ke pelosok - pelosok negeri ini. Hal ini didukung oleh publik figur dengan pengikut banyak seperti informasi tentang Bus terperosok yang menampilkan spanduk salah satu capres dengan caption seolah hal itu merupakan azab padahal sebenarnya hanyalah editan aplikasi atau ketika tokoh nasional yang menyebarkan sebuah piagam penghargaan tokoh toleransi ditandatangani oleh tokoh beragam agama terhadap salah satu capres dimana ternyata piagam tersebut setelah diklarifikasi ternyata tidak pernah ditandatangani oleh salah satu tokoh agama.  

Salah satu yang sedang ramai di khalayak saat ini adalah tentang ijazah palsu Presiden Joko Widodo dimana ada pihak tertentu (oposisi) yang mempertanyakan keasliannya padahal ketika Joko Widodo menjadi walikota Solo pertama kali didukung oleh PKS, ketika menjadi gubernur DKI didorong oleh Prabowo dan Gerindra serta ketika menjadi presiden RI periode pertama dikampanyekan oleh Anies Baswedan, kini menjelang 2 tahun pemerintahan periode kedua usia justru ramai kembali dan banyak pro kontra terhadap hal tersebut. Ketika banyak yang bertanya mengapa hal itu terjadi kuncinya adalah di legal standing Mahkamah Konstitusi terhadap salah satu partai tentang gugatan pemilu threshold 20%.  

IQRA (baca, amati dan pahami)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun