"Kita mengalami Perang Dunia yang pertama, kita mengalami Perang Dunia yang kedua, kita mengalami revolusi-revolusi luar negeri, kita mengalami kejadian. Kejadian gugur, hancur lebur di dalam debu, kita mengalami republik-republik dibangunkan, kita mengalami sebagian besar dari Asia merdeka, kita mengalami satu sejarah yang hebat sekali, mengalami tanah air dan bangsa kita menjadi merdeka, mengalami bangsa kita berjuang mati-matian untuk mempertahankan kemerdekaan itu."
Presiden Sukarno kemudian menyampaikan makna dari Isra Mikraj sebagai penguat batin. Menurutnya tidak ada suatu bangsa yang hebat jikalau batinnya tidak kuat. Ia menghubungkan dengan kondisi di Indonesia yang sedang menjalankan revolusi. Untuk itu dibutuhkan kekuatan batin.
Harapannya supaya bangsa Indonesia dapat naik ke level yang lebih tinggi. Spirit Mikraj mendorong kita untuk selalu naik tangga, naik kelas yang lebih tinggi dari yang sebelumnya kita lewati. Setiap satu perjuangan yang telah selesai, harus dilanjutkan dengan perjuangan lain yang lebih tinggi.
"Di dalam waktu yang demikian ini Saudara-saudara, baik sekali kita merenungkan akan intisari dari Isra dan Mikraj itu tadi, penguat batin kita. Tidak ada suatu bangsa dapat berhebat, jikalau batinnya tidak terbuat dali nur iman yang sekuat-kuatnya. Bangsa yang menjalankan revolusi apalagi revolusi kita ini yang sehebat-hebatnya, revolusi itu sendiri adalah selalu berganti-ganti. Naik-naik tingkat, naik-naik Mikraj Saudara-saudara, daripada revolusi bersenjata menjadi revolusi pembangunan, revolusi untuk mencapai segenap cita-cita bangsa kita. Bagi bangsa yang menjalankan revolusi yang demikian Saudara-saudara, maka kekuatan batin adalah syarat yang mutlak. Dan ambillah, ambillah pengertian dan Mikraj itu, kenaikkan ke atas, naik ke atas, supaya kebudayaan kita naik ke atas, supaya negara kita naik ke atas. Pendek kata, supaya mutu kita sebagai bangsa, sebagai manusia naik ke atas."
Sama seperti pesan Presiden Jokowi, pada tahun 1959 Presiden Sukarno juga menyampaikan tentang persaingan global. Ia mencontohkan kemajuan di dalam bidang teknologi berupa satelit yang dimiliki negara lain. Menurutnya jiwa yang selalu ingin Mikraj dapat membuat bangsa Indonesia menjadi bangsa yang maju termasuk memiliki satelitnya sendiri.
"Jikalau kita bangsa Indonesia ingin kekal, kuat, nomor satu jiwa kita harus selalu jiwa yang ingin Mikraj, ingin Mikraj, ingin Mikraj. Kita sekarang ini membelalak, membukakan mata kita laksana tepekur jika kita mendengarkan perkataan Sputnik, atau Explorer, atau satelit Matahari. Orang atau bangsa yang jiwanya jiwa Mikraj Saudara-saudara berkata, ya, sekarang Sputnik dipegang oleh orang lain, sekarang satelit dipegang oleh orang lain, sekarang Explorer dipegang oleh orang lain. Lain hari bangsa Indonesia akan mempunyai ia punya satelit. Demikianlah Saudara-saudara, bibit utama keberhasilan revolusi kita itu ada di dalam dada kita. Tetapi sebaliknya, jika kita tidak mempunyai jiwa yang demikian itu, Sirna hang kertaning bumi, kita. Kita dengan sendirinya, makin lama makin turun, makin lama makin merosot."
Dari uraian di atas ternyata apa yang disampaikan Presiden Jokowi di tahun 2023 dan Presiden Sukarno di tahun 1959 masih sangat relevan. Makna peristiwa Isra Mikraj pada intinya adalah sebuah dorongan untuk terus semangat dan penguat batin dalam menghadapi tantangan yang ada. Setiap zaman punya tantangan dan masalahnya masing-masing.
Saat ini kita dihadapkan tantangan pasca pandemi dan ancaman resesi ekonomi oleh karena itu dibutuhkan keteguhan hati dan kekuatan batin untuk naik level melanjutkan perjuangan, inilah spirit Isra Mikraj yang harus digali oleh setiap umat. Seperti yang dikatakan Presiden Sukarno,"Berjiwalah Mikraj"!
Sumber: Pidato Presiden pada peringatan Hari Isra Mikraj Nabi Muhammad SAW di Surabaya, ANRI: Daftar Arsip Presiden Sukarno, No. 52