Mohon tunggu...
Widha Karina
Widha Karina Mohon Tunggu... Content Worker

seni | sejarah | sosial politik | budaya | lingkungan | buku dan sastra | traveling | bobok siang. mencatat, menertawakan keseharian, dan menjadi satir di widhakarina.blogspot.com dan instagram.com/widhakarina

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Pasang Foto Profil Maaf Sedang Cuti, Berlebihan atau Profesional?

2 Januari 2024   11:55 Diperbarui: 2 Januari 2024   16:31 14062
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen pribadi, diolah dari berbagai sumber bebas.

Weits, udah Tahun Baru lagi aja. Umbi-umbian korporat pada ambil cuti nggak nih? Udah ganti profile picture WhatsApp "Maaf, Sedang Cuti" belum? Biar cutinya nggak diganggu. Hahaha.

Pertanyaan saya: kenapa sih kita mesti minta maaf karena ambil cuti? Memangnya salahnya apa?

Cuti. Satu kata ini memang banyak dilanggar. Hak karyawan yang sebenarnya sangaaat simpel, tapi makin ke sini makin sulit direalisasikan. Atau setidaknya, terjadi di industri yang saya geluti.

Pantas saja sekarang makin banyak pekerja yang berterus-terang menolak merespons WhatsApp saat sedang cuti. Atau malah mengganti status WhatsApp dan profile picture-nya dengan tulisan "Cuti Dulu" atau "On Leave " atau varian sejenisnya.

Fenomena mengganti status/foto WA ini, saya perhatikan, terjadi sejak pandemi. Ketika banyak kantor menerapkan kebijakan Work From Home (WFH) sehingga karyawannya tidak berjumpa secara fisik di tempat kerja.

Sejak itu, batasan waktu dan tempat kerja secara drastis menjadi rancu. Kerja bisa dilakukan di mana saja, kapan saja, dan menggunakan tools daring apapun. Enak sih, fleksibel. Tapi jadinya semua serba digampangin dan sruntal-sruntul.

Bisa tiba-tiba ada meeting daring yang dimulai jam 9 malam, komplain masuk jam 2 pagi, ditagih laporan di hari minggu. Wis lah tobat.

Yang begini-begini nih kayaknya nggak terjadi ketika zaman Ibu Bapak saya dulu bekerja. Keduanya bisa pulang sekitar jam maghrib tanpa perlu khawatir ditelepon rekan kerjanya jam 10 malam. Wong nggak punya HP. Telepon rumah juga nggak ada. Pulang kerja ya pulang aja. Ganti peran jadi orangtua. Kalaupun membawa kerjaan dari rumah, bentuknya dokumen saja. Itupun jarang.

Sentosa tho? Ya sentosa. Makanya orangtua kita bingung lihat anaknya pulang kerja kok masih asyik aja balesin WA kantor, buka laptop karena ada yang mendesak, atau uring-uringan karena tiba-tiba kena tegur atasan.

Kerancuan jam dan "universe" dunia kerja yang begitu cair itulah yang lantas membuat orang sesekali merasa perlu memasang border/pembatas. Cutilah dia kan. Dengan harapan bisa menarik diri sejenak dari dihajarblehnya ruang privat dia oleh urusan-urusan pekerjaan.

Tapi apa yang terjadi? Yak, cuti juga masih dimintain bikin deck. Hayo ngaku siapa yang pernah diginiin atau melakukannya ke orang lain? Saya juga pernah kok jadi keduanya. Wkwkwkw. Selain pernah karena sengaja, kadang memang beneran gatau ini orang lagi available atau lagi cuti, karena kan ya WFH. Mana pula kita inget jadwal cutay orang-orang yha khan.

Maka lahirlah sebuah inisiatif yang tidak brilian-brilian amat, tetapi efektif: AHA! Akan kuubah foto profilku dengan informasi bahwa aku sedang cutay! Jangan lupa tambah emoji 🙏🏾 atau 🤗 sebagai standar kesantunan karier bagi seluruh warga Indonesia.

Satu lagi, ucapan "maaf" juga tak ketinggalan. Apalagi buat pekerja yang kalau cuti bakal memberikan "beban" ke rekan kerjanya yang lain karena ada efisiensi pegawai. Sukses aja deh buat salaryman yang mau menggunakan hak aja pakai merasa bersalah. Sungguh kucinta budaya gak enakan ala Indonesia dengan sistem manajerial yang memukau ini

Dokumen pribadi, diolah dari berbagai sumber bebas.
Dokumen pribadi, diolah dari berbagai sumber bebas.

Pro dan Kontra
Jujur deh, bagaimana kesanmu melihat foto profil cuti seperti itu? Apakah lantas jadi merasa sungkan mengontak orang tersebut lewat WA? Atau merasa tindakan tersebut kekanakan, berlebihan, dan tidak profesional? Atau sebaliknya, tindakan tersebut justru diperlukan?

Kalau saya nih, sebenarnya pas awal-awal kemunculan fenomena ini agak merasa tindakan seperti ini agak ofensif ya. Istilah kekiniannya tuh: pasif agresif. Ahaha. Gak teriak, gak galak, tapi pesannya kenceng. Ngerti, kan? Ini pola komunikasi yang khas banget orang Indonesia. Semacam ... Aku gamau ngomong langsung, tapi sini deh aku kasih kode.

Makanya dulu ketika ada tim saya ada yang pakai foto profil begini, saya kesel juga dalam hati. "Ih kok segitunya sih. Padahal kan gw juga orangnya santuy juga kalau ada yang cuti mah sok mangga. Kalau terganggu, bilang aja, gak perlu segitunya."

Dalam hati sih begitu. Tapi sebenarnya ada perasaan iri juga. Kok enak ya dia berani dan bisa begitu. Mau ah kapan-kapan. #Lho

Tetapi kini, ketika tempat kerja kami sudah kembali bekerja dari kantor, metode ini masih dipakai lho. Orang-orang masih suka mengganti status dan foto profilnya dengan info bahwa dirinya sedang cuti. Kenapa ya?

Satu yang saya amati: pandemi sungguh telah mengubah cara kita bekerja. Kita tak pernah sungguh-sungguh kembali ke era pra-pandemi. Jam kerja ugal-ugalan menjadi standar baru. Jika dulu fleksibilitas hanya dimiliki oleh para pekerja lepas, kini pekerja swasta harus beradaptasi dengan cara serupa. Tidak ada jam lembur, tapi harus bisa dikontak di mana saja dan kapan saja.

Pasca orang menjadi terbiasa dengan Zoom dan Google Meet, teknologi komunikasi telah menjelma dewa. "Solusi" untuk melintas batas ruang dan waktu. Bagi saya, solusi ini memang perlu. Tetapi kelamaan ---pada konteks dunia kerja--- inovasi ini lebih mirip seperti pembenaran. Jawaban semu atas kebingungan beradaptasi dengan fleksibilitas yang kelewat diagung-agungkan.

Belum lagi tuntutan bisnis yang semakin "galak". Utamanya pasca pandemi. Ketika banyak usaha gulung tikar dan yang bertahan pun harus bekerja lebih keras. Banyak berhemat, banyak melakukan efisiensi. Lantas perkara kesejahteraan SDM pun menjadi prioritas nomor sekian. Tekan terooosss. Tambahin aja bebannya, tapi wegah mbayar luwih.

You gak bisa adaptasi dengan teknologi? You out. You gak bisa bekerja 3 kali lipat lebih keras? Tidak bisa standby setiap waktu? Tidak bisa memberikan inovasi minim biaya tapi impaknya besar? Kebanyakan protes dan berserikat? You out, out, out. Don't worry, I can replace you easily.

Yes. Bagi saya pribadi, inilah era ketika kriteria "sanggup bekerja di bawah tekanan" pada halaman lamaran kerja sudah tidak relevan lagi dicantumkan. Wong semua pekerjaan template-nya memang begitu. Penuh tekanan semua.

Balik lagi ke perihal cuti. Menurut saya, inilah yang kemudian menyebabkan penggunaan foto profil cuti menjadi satu norma baru. This is our hopeless attempt to escape the cruelty side of our working life. Apalagi kalau kantornya tipe yang sulit memberikan cuti ke karyawan.

Cara simpel. Tetapi efektif untuk membantu kita berjarak dengan urusan kantor yang demikian menyita waktu, tenaga, pikiran, dan ... hal-hal menyakitkan lainnya (silakan isi sendiri berdasarkan pergulatan di tempat kerja masing-masing 🤣).

Saya pun, yang dulu ketika pandemi memandang sinis terhadap orang-orang yang mengganti foto profilnya, malah kini merasa bahwa penanda cuti di profil WA itu perlu dan penting. Dan justru adalah wujud sikap profesional! Sebuah cara berkomunikasi yang efektif.

Mengapa? Bayangkan kita adalah orang yang tidak ambil cuti Tahun Baru. Karena ingin segera menyelesaikan tugas sebelum akhir tahun, kita mengontak Si A untuk berkoordinasi.

Si A ini rupanya sedang cuti tapi tidak menginformasikan ke tim bahwa ia sedang cuti hingga 1 minggu lamanya. Maka pesan/email pekerjaan yang kita kirim pun menumpuk, tak kunjung dibalas oleh Si A. Kalaupun dibalas, ya baru dibalas 8 jam kemudian atau keesokan harinya.

Kesal gak? Kalau saya sih kesal. Nah, beda cerita kalau Si A sejak awal memasang foto/status WA yang menginformasikan bahwa dirinya sedang cuti dari tanggal sekian hingga tanggal sekian. Dengan demikian, rekan kerjanya paling cuma komentar, "Owalaah lagi cuti tho" dan dapat mengatur deadline dan menempuh alternatif cara penyelesaian pekerjaan. Kan enak kalau begitu...

Lebih mantap lagi kalau sebelum cuti, Si A sudah menginformasikan jadwal cuti ke timnya secara langsung. Sehingga timnya dapat siap-siap mendahulukan pekerjaan-pekerjaan koordinatif sebelum Si A cuti. Si A juga perlu menyelesaikan tugasnya sebelum cuti. Ya dong, hak harus seimbang dengan kewajiban.

Setelah itu, kalaupun Si A bersedia diganggu saat cuti, sampaikan juga batasan komitmennya. Misalnya: hanya menerima WhatsApp perihal kantor di pukul 17-20. Atau hanya bisa mengerjakan jobdesk X, tetapi tidak YZ. Abis itu, pas cuti pasang info lagi deh, supaya teman-temannya tidak lupa.

Kalau gitu, malah lebih profesional kan? Daripada cuti sembunyi-sembunyi, malah bikin orang lain menunggu-nunggu respons kita. Udah nggak jadi healing karena digangguin mulu, orang lain pun jadi ikutan mangkel.

Masih Digangguin?
Terus gimana Wid, kalau udah pasang status/foto cuti, tapi masih digangguin? Yaa.. ini udah perkara lain ya. Karena kita kan gak bisa mengatur kendablegan orang lain.

Kalau kesal sih pasti ya. Gapapa, respons ini wajar banget. Selain itu, coba cek juga penyebab kenapa dia ngontak kita. Jangan-jangan memang ada perkara mendesak/urgent. Atau bisa jadi itu pesan yang bersifat precaution atau reminder supaya ketika kita kembali ke kantor, ada list to do yang perlu kita prioritaskan.

Saya sih kalau dikontak untuk perkara mendesak, gapapa banget. Cuma saya liat dulu, ada gak nih yang bisa ngerjain hal tersebut selain saya. Kalau gak ada, ya saya kerjain ketika liburan. Tapi kalau isi pesan/teleponnya gak mendesak, printilan, dan yang semestinya bisa menunggu sampai saya balik cuti, yaudah, mohon maaf bakal saya cuekin. Setelah itu, kita bisa menegur baik-baik ke rekan kerja untuk menunggu cuti kita selesai.

Sebaliknya, menghormati cuti orang bagi saya adalah sebuah keharusan (kecuali kalau saya gatau atau lupa kalau dia lagi cuti). Saya biasanya akan berpikir berkali-kali sebelum mengontak orang tersebut. Jangan lupa ucapkan maaf (atau "punten" sebagai magic word buruh korporat) ketika mengontak. Jangan berharap permintaan kita ditanggapi sesegera mungkin.

Satu lagi. Selain komunikasi interpersonal, perusahaan/tempat bekerja kita tuh juga harus mengambil peran lho terkait cuta-cuti ini. Saya menyesalkan sekali kenapa sih kantor tuh jarang berpikir bahwa ngasih libur yang layak adalah sebuah strategi murah buat retain karyawan?

Wahai tempat kerja ... sadaar, ngasih cuti itu murah wey. Dengan ngasih cuti yang layak, kantor gak perlu bayar uang berjuta-juta buat bikin outing supaya karyawannya punya healing time. Cukup kasih aja haknya: cuti.

Selain gratis, nanti pas dia balik dari cuti, kantor akan mendapatkan 1 SDM yang sudah (agak) lebih segar untuk bekerja lebih optimal. Makanya perusahaan tuh perlu memberi jatah cuti (CUTI ya, bukan boleh izin tapi gak dibayar. Ini mah maksa orang buat milih tidur atau makan). Jangan sampai dia baru boleh cuti kalau bawa laptop atau diminta untuk bersedia dikontak selama cuti.

Okeee.. kita sudahi meracaunya. Jadi, kamu udah pasang foto/status cuti/auto-reply belum di WA, Telegram, Email, dan tools kerja kamu lainnya belum? Saya belum sih, hahhah. Sebenarnya gakmau pakai pengumuman segala toh saya sering woro-woro tanggal cuti dari jauh hari. Tapi makin ke sini kayaknya perlu deh, suka ada yang kebablasan soalnya. Lagi cari gambar yang pas. Yang sesuai dengan kepribadian saya 😂

Sampai ketemu di tanggal 5 karena saya cuti sampai tanggal 4 Januari 2024. Selamat Natal dan Tahun Baru, salaryman!

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun