Mohon tunggu...
Wida Reza Hardiyanti
Wida Reza Hardiyanti Mohon Tunggu... Ilmuwan - Peneliti dan konsultan

Berkarir sebagai peneliti ekonomi, hukum, dan sosial. Saat ini aktif sebagai konsultan dalam beberapa proyek penelitian dan pembangunan ekonomi. Hobi menulis, membaca, menonton film, dan bercengkrama bersama keluarga.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Dare to Speak: Ketika Korban Pelecehan Seksual Buka Suara

31 Juli 2023   20:57 Diperbarui: 31 Juli 2023   21:00 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lyfe. Sumber ilustrasi: FREEPIK/8photo

Pelecehan seksual belakangan ini sering terjadi dan mayoritas korbannya adalah wanita. Wanita menjadi kaum rentan yang rawan eksploitasi. Sayangnya, tak semua perempuan korban pelecehan seksual berani bersuara. Artikel ini akan menganalisis "perjalanan panjang" korban pelecehan seksual  menemukan keberanian untuk menghadapi trauma dan bersuara.

1. Pelecehan Seksual: Ketakutan dalam Bayang-bayang

Selama bertahun-tahun, banyak wanita yang menjadi korban pelecehan seksual merasa takut untuk berbicara. Stigma, ketakutan akan penghakiman, dan ketidakpercayaan dalam sistem hukum telah menjadi dinding penghalang bagi keberanian mereka. Namun, semakin banyak dukungan sosial dan supremasi hukum akan menjadi pendorong terkuat mereka untuk bersiara.

2. Mendobrak Kebisuan: Menemukan Keberanian dan Bersuara

Perlahan namun pasti, wanita yang menjadi korban pelecehan seksual mulai berani bersuara. Biasanya ketika ada satu korban bersuara dan mendapat dukungan, maka korban lain juga akan melakukan hal serupa. 

Pelecehan seksual memang seperti fenomena gunung es yang tak nampak dipermukaan. Ketika bersuara, barulah ada tindakan hukum pada predator seksual.

Korban pelecehan seksual sudah seharusnya mendapatkan dukungan dari kelompok-kelompok perempuan, teman-teman, dan keluarga yang mendukung mereka untuk bersuara. Mereka menyadari bahwa bersuara adalah langkah pertama untuk memulihkan diri dan mencegah pelecehan berulang. 


3. Mendukung Korban: Aksi Responsif dan Empati

Tak bisa dipungkiri, korban pelecehan seksual membutuhkan dukungan dan empati. Dalam proses pemulihan mereka, banyak organisasi dan lembaga telah berperan penting dalam memberikan bantuan dan layanan konseling. 

Dukungan ini bukan hanya memberikan tempat yang aman untuk berbicara, tetapi juga membantu para korban merasa tidak sendirian dan terdorong untuk berani bersuara.


4. Mengekspos Pelaku: Membongkar Identitas Predator Seksual

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun