Negeri ini ahli dalam satu hal: budaya tipu-tipu. Dari level terendah sampai yang paling tinggi, semua elemen punya jurusnya masing-masing. Tukang parkir bisa seenaknya narik biaya tanpa karcis, pedagang nakal mencampur beras dengan batu kecil, bengkel resmi lihai memainkan daftar part, dan parlemen... ah, jangan ditanya. Mereka adalah profesor tipu-tipu, yang bahkan bisa membungkus pengkhianatan sebagai "demi kepentingan rakyat."
Saya baru benar-benar merasakannya ketika motor saya kehabisan bensin jam 11 malam. Di kota sebesar Jakarta, yang katanya megapolitan, hanya SPBU milik negara yang buka 24 jam. SPBU swasta? Tutup semua karena ada yang merasa bisnisnya tersaingi. Dan lucunya, SPBU negara ini bukan SPBU yang bersih dari masalah. Baru saja publik heboh soal bensin oplosan beberapa waktu lalu dan kini di tengah malam, saya tidak punya banyak pilihan. Mau tidak mau, saya isi juga.
Petaka Bermula
Keesokan harinya, pulang dari RSCM ke kosan, motor saya mendadak seperti kehilangan nyawa. Gas tidak enak ditarik, mesin tersendat-sendat, dan jalanan macet membuat frustrasi semakin sempurna. Saya akhirnya menyeret motor ke bengkel resmi.
Di situlah komedi satir ala negeri ini dimainkan. Alih-alih memberikan solusi sederhana, mekanik bengkel resmi menyodorkan daftar panjang part yang harus diganti. Seolah-olah motor saya ini pasien ICU yang butuh transplantasi organ. Padahal saya tahu betul, masalahnya tidak serumit itu. Saya bukan orang awam otomotif; saya bisa memperkirakan biaya normalnya. Tapi mereka tetap nekat main markup, seolah status "resmi" memberi izin untuk menipu lebih canggih.
Dan saat itu saya sadar: ini bukan sekadar urusan motor. Ini potret kecil negeri tipu-tipu. Dari SPBU negara yang tega mencampur bensin, bengkel resmi yang lihai mempermainkan part, hingga pejabat yang lihai memoles kebohongan dengan kalimat manis.
Apa susahnya jujur di negeri ini? Jawabannya sederhana: sangat susah. Karena kejujuran dianggap kelemahan, sementara kebohongan dipuji sebagai kecerdikan. Dari kecil, kita dipaksa terbiasa dengan tipu-tipu. Listrik padam tapi tagihan jalan terus, jalan diperbaiki asal-asalan tapi anggarannya fantastis, proyek molor disulap jadi "force majeure."
Lihat parlemen kita: sibuk membuat aturan yang lebih sering menguntungkan diri mereka sendiri ketimbang rakyat. Saat rakyat ribut soal harga kebutuhan pokok yang naik, mereka malah rapat soal tunjangan, fasilitas, atau proyek perjalanan dinas. Tipu-tipu level dewa. Bahkan ketika ketahuan, mereka punya jurus pamungkas: mengatasnamakan "demi rakyat." Rakyat mana? Jelas bukan kita.
Lama-lama kita dipaksa pasrah. Dipaksa terbiasa hidup dengan oplosan. Oplosan bensin, oplosan janji, oplosan kebijakan. Sampai-sampai kita tidak kaget lagi kalau kebohongan jadi tradisi, sementara kejujuran jadi bahan lelucon.
Negeri ini sebenarnya tidak kekurangan sumber daya, tidak kekurangan orang pintar, tapi yang menjalar seperti wabah adalah penyakit tipu-tipu. Dari bawah sampai atas. Dari tukang servis motor yang main harga, sampai pejabat yang main anggaran. Semua sama saja.