Tulisan Agus Purnomo yang bertajuk "Indonesia dan Tantangan Regulasi Usang: Saatnya Berhenti Menunggang Kuda Mati" (Kompasiana, 2025) menghadirkan sebuah metafora yang kuat untuk menggambarkan betapa regulasi kita seringkali tertinggal dan tidak lagi relevan dengan perkembangan zaman. Namun, bagi saya, "kuda mati" itu tidak hanya disebabkan oleh regulasi yang usang, tetapi juga oleh ketidaksiapan negara dalam menjawab tantangan dan potensi dari bonus demografi yang tengah berlangsung.
Indonesia berada di tengah momentum demografi langka. Penduduk usia produktif mendominasi. Namun, peluang ini tidak otomatis menghasilkan kemajuan. Tanpa regulasi yang adaptif dan kebijakan publik yang solutif, kita justru bisa terseret ke dalam stagnasi struktural. Pemerintah bukan hanya gagal mengganti kudanya, tetapi malah membiarkan rakyat menyeret bangkai itu di tengah arus perubahan global yang semakin cepat.
Bonus Demografi: Hadiah yang Bisa Jadi Bencana
Menurut proyeksi Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia akan menikmati puncak bonus demografi pada periode 2020--2035, dengan mayoritas penduduk berada dalam usia produktif. Namun seperti dikatakan oleh David E. Bloom (Harvard University), bonus demografi hanyalah potensi---ia membutuhkan kebijakan yang tepat agar bisa diwujudkan menjadi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan sosial (Bloom et al., 2003).
Realitasnya, Indonesia belum menunjukkan kesiapan tersebut. Alih-alih merancang kebijakan berbasis data dan inovasi, kita masih berkutat pada regulasi lama yang sudah tidak cocok dengan kebutuhan zaman. Ini adalah bentuk kelalaian sistemik yang bisa mengubah potensi menjadi beban.
Regulasi yang Kaku, Rakyat yang Terbebani
Berbagai regulasi penting saat ini masih tertinggal dari praktik yang berkembang di lapangan:
UU Ketenagakerjaan belum mampu menjawab tantangan kerja digital dan fleksibel.
Sistem pendidikan terlalu fokus pada administratif, alih-alih mengembangkan kompetensi masa depan.
Regulasi digital lebih sering digunakan sebagai alat kontrol sosial daripada mendorong pertumbuhan inovasi dan perlindungan data pribadi.
Situasi ini menggambarkan policy lag, yaitu keterlambatan kebijakan dalam merespons perubahan sosial, sebagaimana dijelaskan oleh James E. Anderson (2015). Ketika regulasi tertinggal dan tidak diperbaharui, maka negara akan terus gagal memberikan respons yang relevan terhadap dinamika sosial dan ekonomi.