Mohon tunggu...
Abrurizal Wicaksono
Abrurizal Wicaksono Mohon Tunggu... Pekerja Sosial

Selayaknya orang biasa.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menimbang Ulang Masa Depan LSM: Dari Ketergantungan Dana Asing hingga Tantangan Inovasi Advokasi Digital

9 Mei 2025   16:21 Diperbarui: 9 Mei 2025   16:21 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Saya menulis ini berdasarkan pengalaman lebih dari delapan tahun bekerja di beberapa LSM, organisasi donor internasional, dan pernah pula menjadi bagian dari institusi pemerintah. Saya menyaksikan sendiri bagaimana banyak lembaga tumbang karena tidak memiliki sistem internal kontrol yang memadai. Padahal, jika organisasi masyarakat sipil ingin tetap bertaji tanpa kehilangan suara atau tercerabut dari akar keberpihakannya, maka mereka harus membangun sistem pengawasan internal yang kuat, didukung SDM yang profesional, dan operasional yang berjalan berdasarkan prinsip efisiensi dan integritas.

Pola-pola kerja lama seperti pendekatan proyek yang reaktif, budaya kerja yang terlalu karismatik (bergantung pada tokoh), serta pelaporan yang dibuat sekadar menggugurkan kewajiban---harus ditinggalkan. Sebaliknya, pola yang harus dipertahankan adalah partisipasi bermakna masyarakat, kolaborasi antar-CSO, dan keberanian untuk melakukan kritik terhadap kekuasaan tanpa takut kehilangan pendanaan.

Resistensi LSM ke depan bisa datang dari berbagai arah: pembatasan ruang gerak oleh negara, dominasi narasi oleh oligarki digital, hingga penurunan kepercayaan publik akibat kasus-kasus penyalahgunaan dana. Dalam konteks ini, independensi LSM dalam mengawal rencana dan kebijakan publik menjadi kunci. LSM tidak boleh hanya menjadi eksekutor proyek pemerintah, tetapi harus tetap berperan sebagai mitra kritis dan penjaga demokrasi.

Dengan menggunakan sumber pendanaan yang bervariasi, dari kontribusi publik, bisnis sosial, kemitraan strategis dengan sektor swasta progresif, hingga pemanfaatan platform digital, maka LSM dapat mengembalikan fungsinya sebagai lokomotif perubahan sosial. Namun jalan ini tentu bukan tanpa biaya. Dibutuhkan SDM, waktu, bahkan keberanian untuk gagal, sebelum akhirnya lembaga mampu menemukan formulasi kerja yang relevan dengan zaman.

Akhirnya, masa depan LSM Indonesia akan sangat tergantung pada kesediaannya untuk mengoreksi diri dan melampaui romantisme era bantuan luar negeri. Era neoliberal tidak akan menunggu siapa pun. Jika LSM tidak berbenah, maka publik akan memilih advokasi lain yang lebih cepat, murah, dan terasa dampaknya secara langsung.

Maka pertanyaannya, akankah kita membiarkan organisasi masyarakat sipil yang pernah menjadi motor reformasi ini lenyap dalam sunyi? Atau kita akan merancang ulang peta jalan baru agar mereka kembali relevan dalam demokrasi Indonesia hari ini?

Catatan kaki:

[1] Savirani, Amalinda. Pidato Pengukuhan Guru Besar, UGM. 27 Februari 2025.

[2] Hardiyanto, Barid. "Disrupsi LSM." Tempo. 17 Januari 2020.

[3] Antlov, H., Brinkerhoff, D., & Rapp, E. (2010). Civil Society Capacity Building for Democratic Reform. USAID.

[4] Anderson, A.A. (2005). The Community Builder's Approach to Theory of Change. The Aspen Institute.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun