Barangkali kita terlalu lama terjebak dalam keyakinan bahwa LSM akan selalu menemukan jalannya. Bahwa selama ada ketidakadilan, akan selalu ada organisasi masyarakat sipil yang berdiri sebagai penyeimbang. Namun, dua suara penting---pidato pengukuhan Guru Besar Prof. Dr. Amalinda Savirani di UGM dan opini tajam Barid Hardiyanto di Tempo---mengajak kita berhenti sejenak, menoleh ke belakang, lalu menatap ke depan dengan jujur. Mereka tidak sekadar menyuarakan keresahan, melainkan mengangkat cermin besar di hadapan kita: infrastruktur kelembagaan LSM tengah rapuh, cara kerjanya makin usang, dan strateginya tak lagi selaras dengan zaman.
Amalinda, dengan mengutip Antlov dan Davies, memotret betapa LSM di Indonesia masih hidup dalam rumah lama yang pondasinya makin keropos: skema pendanaan tradisional. Ketika donor internasional mulai mengemasi koper mereka---sebagian karena alasan geopolitik, sebagian karena perubahan fokus---banyak LSM kehilangan denyutnya. Angka-angka itu berbicara lantang: dari 200 ribu organisasi pasca-reformasi, kini hanya sekitar 8.000 yang aktif. Kita menyaksikan, tanpa perlu berlebihan, kematian perlahan dari sektor yang dulu menjadi jantung demokrasi partisipatoris kita. Ini bukan lagi soal kurang dana, tapi kehilangan arah. Bukan sekadar krisis operasional, tetapi krisis eksistensial.
Di sisi lain, opini Barid Hardiyanto mengangkat pergeseran dalam pola advokasi. Ia mencatat bahwa masyarakat kini lebih mempercayai platform digital dan figur influencer aktivis ketimbang LSM formal. Platform seperti KawalPemilu, Change.org Indonesia, dan berbagai kampanye sosial berbasis media sosial membuktikan bahwa advokasi tidak lagi identik dengan struktur kelembagaan yang birokratis. Alih-alih melalui konferensi pers atau lobi kebijakan, advokasi kini dilakukan dengan algoritma, data besar (big data), kecerdasan buatan (AI), dan crowdsourcing.
Dari dua perspektif ini, kita bisa membaca bahwa krisis LSM bukan hanya krisis keuangan semata, tetapi juga krisis cara pandang dan metode kerja. LSM yang masih mengandalkan proposal dan donor sebagai mesin utama programnya kini tampak ketinggalan zaman. Pola pikir manajemen yang hanya bermain aman dan menyusun program dengan perencanaan jangka pendek membuat organisasi-organisasi ini seperti menunggu ajal, bukan menyiapkan masa depan.
Realitas di lapangan menunjukkan bahwa ketika pendanaan berhenti, maka program berhenti. Tidak ada mesin yang menyala. Padahal, seharusnya pendanaan hanyalah salah satu bahan bakar dari visi yang jauh lebih besar. Dalam banyak kasus, tidak adanya diversifikasi sumber pendanaan mencerminkan kegagalan organisasi dalam melakukan refleksi strategis. Hal ini membuat banyak LSM tidak memiliki skema keberlanjutan (sustainability) yang memadai.
Lebih dari itu, dalam konteks hari ini, dengan cepatnya perubahan teknologi dan cara masyarakat mengakses informasi serta membangun gerakan, LSM harus berani membuka diri terhadap model-model baru. Namun kenyataannya, hanya sedikit yang mampu atau mau menempuh jalur ini. Belum semua NGO misalnya mampu menyusun strategi pembiayaan alternatif seperti venture philanthropy, blended finance, atau income-generating program.
Bahkan crowdfunding yang kerap digadang sebagai solusi pun belum sepenuhnya efektif, karena tingkat kepercayaan publik terhadap transparansi pengelolaan dana masih rendah.
Jika LSM ingin bertahan, maka perlu ada perubahan paradigma. Pertama, pengelolaan kelembagaan tidak boleh lagi bersifat jangka pendek. Strategi program harus dirancang secara integral dengan skema pembiayaan dan keberlanjutan jangka panjang. Kedua, lembaga perlu "menjual diri" secara cerdas---yakni bukan menjual isu sebagai komoditas semata, tetapi memperlihatkan kapasitas untuk menjadi aktor kunci dalam menyelesaikan isu-isu publik yang penting. Ketiga, organisasi masyarakat sipil harus mulai berinvestasi pada sumber daya manusia dan infrastruktur kelembagaan yang adaptif dan melek teknologi.
Dalam hal ini, teori perubahan (theory of change) menjadi penting sebagai pendekatan berpikir strategis. Teori perubahan membantu organisasi memetakan dampak jangka panjang yang ingin dicapai, serta jalur-jalur logis yang diperlukan untuk mencapainya[4]. Ia menjadi kompas moral sekaligus peta strategis yang memungkinkan LSM tetap relevan dalam konteks sosial-politik dan teknologi yang cepat berubah.
Tidak hanya itu, teori kelembagaan baru (new institutionalism) juga menekankan pentingnya norma, nilai, dan praktik organisasi dalam mempertahankan legitimasi[5]. Dengan kata lain, LSM yang ingin tetap hidup harus mampu menegosiasikan identitasnya antara civic making dan profit making, sembari menjaga akar keberpihakan pada masyarakat sipil itu sendiri.
Salah satu elemen penting lainnya adalah penerapan prinsip cost recovery yang sehat. Prinsip ini bukan sekadar kalkulasi finansial, tetapi upaya menjaga keberlanjutan tanpa menjual prinsip. Cost recovery memungkinkan LSM memiliki ruang napas finansial yang tidak sepenuhnya tergantung pada donor luar. Namun skema ini harus diatur secara transparan dan akuntabel agar tidak menggerus kepercayaan publik.