Pendahuluan
Bayangkan sebuah hutan lebat di pagi hari. Kabut masih menggantung di udara, burung berkicau, dan akar pepohonan saling berpelukan di tanah yang lembap. Di balik keindahan itu, ada hukum yang bekerja, hukum yang mengatur siapa yang boleh menanam, menebang, menjaga, atau bahkan hanya melintas di sana. Hukum itu disebut hukum tanah dan kehutanan.
Di Indonesia, tanah dan hutan bukan hanya sumber kehidupan, tetapi juga sumber konflik. Dari izin tambang di hutan lindung hingga perebutan lahan adat, persoalan ini sering kali berujung pada ketidakadilan bagi masyarakat kecil. Padahal, konstitusi sudah menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat (Pasal 33 UUD 1945).
Lalu, mengapa hukum yang seharusnya melindungi justru sering menjadi medan perebutan?
Pembahasan
1. Tanah dan Hutan: Dua Sisi dari Satu Sistem
Dalam hukum Indonesia, tanah dan hutan memiliki kaitan yang sangat erat. Tanah adalah alasnya, hutan adalah penutupnya. Tanpa tanah, hutan tak bisa tumbuh, tanpa hutan, tanah mudah rusak. Namun secara hukum, keduanya diatur oleh dua sistem berbeda: Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Tahun 1960 dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Inilah yang sering disebut sebagai dualitas hukum agraria dan kehutanan.
Masalah muncul ketika satu bidang tanah diklaim sebagai kawasan hutan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), tetapi di sisi lain masyarakat sudah turun-temurun menggarapnya. Akibatnya, banyak warga yang dianggap “menempati kawasan hutan secara ilegal”, padahal mereka hidup di sana jauh sebelum batas kawasan itu ditetapkan.
Menurut data Konsorsum Pembaruan Agraria (2023), lebih dari 10.000 kepala keluarga di berbagai wilayah Indonesia terdampak letusan konflik agraria yang tumpang tindih. Ini bukan sekadar soal kepemilikan, tapi juga soal keadilan sosial.
2. Ketika Hukum Tak Menyentuh Akar