Mohon tunggu...
Bambang Wibiono
Bambang Wibiono Mohon Tunggu... Buruh - Buruh Sarjana | Penulis Bebas | Pemerhati Sosial Politik

Alumnus Ilmu Politik FISIP Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Hegemoni Pengetahuan dalam Sejarah "Peteng" Cirebon

15 Agustus 2020   08:34 Diperbarui: 15 Agustus 2020   14:21 708
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terbatasnya sumber informasi otentik ini mengesankan bahwa ada monopoli pengetahuan dari informasi-informasi yang beredar. Atau bisa juga bahwa lemahnya tradisi tulis para leluhur kita dimanfaatkan untuk mengendalikan kekuasaan oleh penjajah. Antonio Gramsci atau Michel Foucault menyebutnya sebagai hegemoni pengetahuan.

Sebuah bukti bahwa terjadi hegemoni pengetahuan oleh penjajah Belanda adalah banyaknya penyitaan manuskrip-manuskrip kuno Cirebon yang saat ini disimpan di Museum Leiden, Belanda. Bahkan bendera/panji Cirebon yang asli juga masih tersimpan di Belanda. Beberapa waktu lalu, Sultan Kasepuhan pernah meminta pihak Pemerintah Belanda mengembalikan pusaka milik Cirebon.

Berdasarkan teori hegemoni Gramsci, dikarenakan kekuatan dan kekuasaan yang inhern atau menyatu tak terpisahkan pada pengetahuan dalam membentuk pola pikir (the politics of knowledge), pengendalian produksi wacana serta penyebaran pengetahuan adalah hal yang sentral dalam mempertahankan legitimasi rezim tersebut. 

Maka pengetahuan melalui sistem pendidikan, media, budaya, manuskrip menjadi senjata hegemoni yang sangat efektif untuk mengendalikan masyarakat dan mempertahankan rezim.

Lebih jauh, adanya politik adu domba dan hasutan dari penjajah membuat merebaknya konflik internal pemerintah Cirebon saat itu. Tidak heran jika sejarah bangsa ini selalu dihiasi perpecahan kerajaan, pemberontakan, perang saudara dan konflik-konflik internal lainnya.

Ini turut melanggengkan hegemoni pengetahuan yang dilakukan penjajah. Kalangan internal keraton pun tak jarang turut mendalangi hegemoni pengetahuan ini. Sejarah dihilangkan, cerita dikaburkan. Pelacakan sejarah hanya menyisakan tafsir-tafsir bias, asumsi semata, bahkan dongeng dan mitos-mitos leluhur.

Sejarah dan silsilah Kesultanan di Cirebon pun demikian. Peristiwa sejarah yang melingkupi pergantian tahta juga tak jarang terkesan kurang jelas. Bukti-bukti berupa catatan resmi pun sulit ditemukan, mungkin disita oleh Belanda atau tertutup untuk diketahui umum.

Sejarah yang beredar lebih banyak jare-jare (katanya-katanya) yang diwariskan dari mulut ke mulut selama berabad-abad. Bahkan silsilah Kesultanan Kasepuhan versi keraton sendiri juga kurang begitu gamblang.

Misalnya saja, silsilah Sultan Sepuh ke IX (Sultan Raja Sulaeman) ke Sultan Sepuh X (Sultan Raja Atmaja) tidak ditulis utuh. Karena berdasarkan beberapa kajian sejarah, masa peralihan itu sempat dipegang perwalian oleh Pangeran Adiwijaya yang bergelar Pangeran Syamdudin IV, yang menjadi wali bagi Pangeran Raja Satria sebagai pengganti Sultan ke IX sesuai penegasan Residen Belanda pada tahun 1867.

Setelah Raja Satria, kemudian digantikan oleh saudaranya, yaitu Pangeran Raja Jayawikarta yang memerintah sekitar tahun 1875-1880. Baru setelah itu diganti Sultan Sepuh X, Sultan Raja Atmaja. Namun yang tertulis dalam silsilah Sultan Kasepuhan yang umum diketahui publik hanya dari Sultan Raja Sulaiman langsung digantikan Sultan Raja Atmaja.

Belum lagi pertanyaan soal mengenai siapakah sebenarnya Sultan Sepuh VII, Joharudin atau Samsudin? Karena beberapa tahun lalu pernah ada tulisan yang dimuat di surat kabar mengenai temuan dokumen di arsip nasional dan juga koleksi naskah British Library yang diberi judul "Raffles Papers" yang berisi surat menyurat antara Sultan Sepuh dengan Raffles.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun