Mohon tunggu...
Wianda Anggraeni
Wianda Anggraeni Mohon Tunggu... Mahasiswa universitas sebelas maret

Mahasiswi aktif Program Studi Desain Komunikasi Visual, Universitas Sebelas Maret, yang memiliki ketertarikan tinggi pada dunia seni dan fashion. Aktif mengeksplorasi ekspresi visual melalui berbagai media, serta memadukan estetika desain dengan gaya personal sebagai bentuk identitas kreatif.

Selanjutnya

Tutup

Worklife

Otak yang Terlalu Sibuk: Bahaya Overstimulasi Digital

20 Mei 2025   01:51 Diperbarui: 20 Mei 2025   01:51 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Worklife. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pernah nggak, kamu buka HP cuma buat balas chat, tapi tahu-tahu sudah pindah ke TikTok, terus lanjut ke Instagram, lalu buka YouTube, dan akhirnya dua jam berlalu tanpa sadar? Kita hidup di zaman yang serba cepat dan serba ramai. Setiap detik ada saja notifikasi masuk, konten baru muncul, dan hal-hal menarik yang minta diperhatikan. Semua terasa instan, padat, dan tak berhenti. Sekilas terlihat menyenangkan, padahal perlahan-lahan ini bisa menjadi beban tak kasatmata bagi otak kita.
Menurut saya, inilah salah satu bentuk krisis senyap yang kini mulai merusak kualitas hidup. Kita sadari, otak kita tak pernah lagi benar-benar diam. Kita mengalami apa yang disebut sebagai overstimulasi digital, sebuah kondisi ketika otak terus-menerus dibanjiri informasi, suara, gambar, dan interaksi yang datang tanpa henti. Ini bukan cuma membuat kita kelelahan secara mental, tapi juga menggerogoti kemampuan fokus, berpikir mendalam, bahkan menikmati hal-hal sederhana dalam hidup. Kita jadi susah duduk diam tanpa musik, gelisah saat sinyal hilang, dan bosan jika tak ada hiburan visual di depan mata.
Apa yang dulu terasa cukup dengan membaca satu artikel atau duduk tenang, kini terasa “kurang.” Kita semakin tergantung pada dorongan cepat dari scrolling dan stimulasi digital, hingga tanpa sadar, otak kita tidak pernah diberi waktu untuk istirahat. Saya percaya, jika kita tidak mulai membatasi diri, maka lama-lama kita bukan lagi menjadi pengguna teknologi, tapi budaknya.

Apa Itu Overstimulasi Digital?
Overstimulasi digital adalah kondisi ketika otak kita menerima terlalu banyak rangsangan dari berbagai sumber digital secara terus-menerus. Mulai dari notifikasi yang muncul tiap menit, video pendek yang bikin ketagihan, hingga berbagai aplikasi yang selalu update dengan konten baru. Otak yang seharusnya bisa fokus dan menyaring informasi malah kewalahan, terus-menerus “on” tanpa jeda.

Efek Overstimulasi pada Otak
Dampak overstimulasi ini tidak main-main. Otak yang terus-terusan dipaksa menerima rangsangan tanpa istirahat jadi kehilangan kemampuan fokus jangka panjang. Kita jadi mudah terganggu, sulit menyelesaikan tugas yang butuh perhatian mendalam, dan cepat merasa cemas. Bahkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif pun menurun karena otak terlalu sibuk menangani banjir rangsangan yang masuk.
Menurut data dari Microsoft, rentang perhatian manusia kini hanya sekitar 8 detik. Ini mencerminkan betapa cepatnya kita kehilangan fokus, dan betapa rentannya kita terdistraksi oleh hal-hal kecil yang terus-menerus muncul dari layar.
Dampaknya terasa nyata: membaca buku tak lagi mudah, berbincang tanpa menyentuh HP jadi langka, dan waktu tenang seolah jadi hal yang asing. Kita seperti kehilangan kemampuan untuk hadir sepenuhnya dalam momen.

Stres dan Burnout Mental
Penelitian dari berbagai jurnal kesehatan mental mengungkapkan bahwa overstimulasi digital juga dapat memicu stres kronis dan burnout mental. Ketika otak terus-menerus bekerja tanpa waktu istirahat, tubuh dan pikiran jadi cepat lelah. Kita mungkin merasa “sibuk” terus, padahal secara produktivitas justru menurun. Burnout bukan hanya tentang kelelahan fisik, tapi juga mental yang kosong, ide yang buntu, dan perasaan jenuh yang sulit dijelaskan.
Yang mengkhawatirkan, semua ini seringkali kita anggap “normal.” Padahal, hidup dalam kondisi mental yang selalu bising adalah sesuatu yang harus diwaspadai dan, menurut saya, harus dilawan.

Memberi Ruang untuk Otak Bernapas
Tentu kita tidak harus sepenuhnya menjauhi teknologi, karena teknologi juga membawa banyak manfaat. Tapi kita perlu mulai sadar akan batas. Overstimulasi digital bukan sesuatu yang bisa diselesaikan orang lain untuk kita. Ini soal kesadaran diri: tentang kapan harus berhenti, kapan harus tenang, dan kapan kita benar-benar perlu "offline" demi kembali waras.
Cobalah membatasi waktu layar, menetapkan “zona bebas gadget” di rumah, atau sekadar mencoba duduk lima menit tanpa distraksi. Mungkin awalnya terasa aneh, tapi perlahan otak kita akan kembali mengenal senyap, dan justru di situlah kelegaan muncul.
Saya percaya, memberi ruang bagi otak untuk bernapas bukan kemunduran dari kemajuan zaman. Sebaliknya, itu adalah cara kita bertahan di tengah dunia yang makin sibuk jadi mesin.

Kalau kamu setuju, kamu tidak sendirian. Dan kalaupun belum, mungkin ini saatnya kita mulai mencoba.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun