Mohon tunggu...
Wenny Rosalia
Wenny Rosalia Mohon Tunggu... -

Counselor

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Kematian Kedua

16 Mei 2012   15:17 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:12 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Apa yang terlintas di pikiran dan apa yang anda rasakan ketika mendengar kata “KEMATIAN”?

Kata “takut” mungkin merupakan salah satu yang langsung terlintas di pikiran kita. Takut karena tidak tahu bagaimana situasi nanti ketika kita sudah mati, seperti apakah situasinya saat-saat sakratul maut, ataumungkinmenuju ke manakah kita setelah mati, bahkan terbersit pertanyaan seperti apakah tempat yang bernama “surga” dan “neraka” , yang mana banyak disebutkan sebagai tempat tujuan kita setelah kematian.

Berbagai pendekatan otomatis akan menghasilkan berbagai pengertian dan definisi. Secara sederhana, seperti yang pernah saya baca sebelumnya, definisi kematian adalah suatu kondisi dimana lepasnya jiwa/roh dari badan/tubuh fisik. Bisa di artikan kematian adalah ketika tubuh mahkluk hidup (manusia dan hewan) sudah tidak bernyawa lagi, yang ditandai dengan berhentinya detak jantung (dalam dunia kedokteran).

Namun Mitch Albom dalam karyanya Have a Little Faith memperkenalkan istilah KEMATIAN KEDUA. Nah munculah pertanyaan “apa beda dengan definisi pada umumnya” atau “jika ini kematian kedua, berarti ada kematian pertama”.

Dalam bukunya tersebut,Micth menyebutkan bahwa kematian kedua bukan merujuk pada kematian secara fisik, namun lebih kepada “kematian secara sosial” dimana kondisinyaadalah ketika seorang manusia yang telah mengalami kematian fisik kemudian dilupakan orang-orang di sekitarnya. Dalam bukunya tersebut di sebutkan pula, ternyata kita yang saat ini masih menghirup nafas kehidupan sangat takut dan sangat berat jika membayangkan kematian kedua terjadi pada kita nantinya.

Secara tidak sadar kematian kedua sebenarnya telah terjadi pada diri kita maupun keluarga kita masing-masing, bahkan realita yang ada adalah kematian kedua itu terjadi sebelum kematian secara fisik kita alami. Pernahkah Anda mengenalhanya sekedar nama nenek atau kakek buyut Anda? Jangankan buyut, apakah kita masih mengingat seluruh nama dari saudara-saudara kita yang pernah kita kenal sebelumnya? Saya yakin pasti banyak juga dari kita yang lupa bahkan tidak tahu nama saudara kita sendiri. Atau mungkin teman lama yang sudah bertahun-tahun tidak pernah bertemu, masih ingatkah kita akan nama mereka?

Pernahkah pula anda mendengar cerita atau mungkin melihat sendiri seorang kakek atau nenek yang berada dipanti jompo tidak pernah sama sekali dikunjungi oleh keluarganya. Kalau Anda boleh menebak bagaimana kira-kira kondisinya? Atau bayangkan bagaimana perasaan Anda jika itu terjadi pada diri Anda sendiri?

Suatu saat pernah saya terlintas berpikir, nanti ketika saya sudah meninggal, apakah keluarga dan teman-teman saya tetap mengingat dan mengenang saya? Saat itu saya langsung berpikir, “ah saya terlalu berlebihan membayangkan tentang kematian”. Namun setelah membaca buku karya Micth Albom ini saya tersadar bahwa ternyata apa yang saya bayangkan saat itu ternyata bukanlah suatu hal yang berlebihan, tapi kekhawatiran yang wajar dimiliki oleh kita yang notabene adalah seorang mahkluk sosial. Lalu apa yang menyebabkan seseorang bisa merasa ketakutan seperti itu?

Dalam ilmu Psikologi, seorang tokoh bernama Abraham Maslow melihat bahwa manusia mempunyai 5 kebutuhan dasar dalam hidupnya yang penting untuk dipenuhi, salah satunya adalah need of belonging and love. Kebutuhan ini diyakini terus penting sepanjang hayat seseorang. Dicintai dan diterima adalah jalan menuju perasaan yang sehat dan berharga, dan sebaliknya tanpa cinta menimbulkan kesia-siaan, kekosongan dan kemarahan. Orang sangat peka dengan kesendirian, pengasingan, ditolak lingkungan, dan kehilangan sahabat atau kehilangan cinta. Bisa dikatakan pula seseorang dalam hidupnya membutuhkan intimacy dari relasi yang dia bangun dengan orang lain disekitarnya, bukan hanya sekedar kenal dari nama saja namun lebih dari itu, yaitu perasaan dekat secara emosi dengan orang-orang sekitarnya, terutama dengan keluarga.

Keinginan untuk terus dikenang, diingat adalah salah satu cerminan bahwa seseorang punya kebutuhan akan cinta, kasih sayang dan dimiliki. Dengan dia diingat dan dikenang oleh orang-orang disekitarnya inilah, baik oleh keluarganya, sahabat maupun teman-temannya menjadi bukti bahwa dirinya dicintai dan diterima oleh orang disekitarnya,diterima oleh lingkungannya,dan efeknya adalahmenimbulkan perasaan bahwa dirinya berharga di mata orang lain. Inilah yang kemudian mampu menaikkan harga dirinya sebagai seorang manusia, lebih lanjutperasaan tersebut dapat membantu seseorang dalam memaknai eksistensinya sebagai seorang pribadi di tengah masyarakat.

Sebenarnya bisa dikatakan cara mengatasi ketakutan dan menghindari “kematian kedua” tidak semudah kita membalikkan telapak tangan. Salah satu caranya yaitu yang terutama adalah dengan membangun intimacy dengan keluarga. Keluarga bagaimana pun juga adalah tempat kita berasal. Sekalipun seseorang tidak diterima lagi atau ditolak oleh lingkungan sekitarnya, dalam artian oleh sahabat/teman-teman atau orang lain, maka keluargalah (terutama orang tua) satu-satunya yang bisa menerimanya tanpa syarat. Lalu bagaimanakah sikap kita dengan orang tua kita? Cukup baikkah kita membangun dan menjaga intimacy dengan orang tua kita? Relakah apabila “kematian kedua” menimpa diri kita?

Semoga tulisan ini bisa membantuuntuk menjadi bahan refleksi bagi kita masing-masing betapa berharganya nilai dan efek sebuah intimacy, baik itu dengan keluarga, dengan pasangan kita, dengan saudara, dengan teman dan sahabat, dengan rekan kerja kita, bahkan mungkin dengan orang yang pernah berkonflik dengan kita. Semoga Tuhan kiranya selalu menjaga kita dan orang-orang yang kita cintai. Amin

Ketika mereka mengenangku aku terus hidup, ketika mereka berdoa untukku aku terus hidup, karena keberadaanku lah maka aku pun berharga.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun