Mohon tunggu...
wendy setiawan
wendy setiawan Mohon Tunggu... -

berikrar untuk menjadi orang yang belajar, tidak merasa pintar namun berusaha untuk ' pintar merasa '

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Tentang Acek

17 November 2010   04:31 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:32 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Rusli Budiman namanya, panjang usianya. Paling tidak dilihat dari KTP dengan keterangan ‘seumur hidup’ yang disandangnya. Ia biasa dan inginnya disapa Acek. Panggilan untuk orang tua di kalangan suku Tionghoa. Tahun lahirnya berbarengan dengan berdirinya bank plat merah BNI’46, yaitu tanggal 14 September dengan tahun yang sama. Satu tahun setelah Bapak Republik Soekarno – Hatta memproklamirkan NKRI pada 17 Agustus 1945 di Pegangsaan Timur. Dengan usia seuzur dan setua itu (65th) Acek masih bekerja, sebagai pengantar giro (bentuk lain uang kertas sebagai alat pembayaran yang sah).Setiap hari ia bertransaksi di kantor kami, sebuah bank komersial umum dengan slogan ‘Bank Cape Antri’ (sebentar lagi akan dilengkapi kursi jadi tidak cape lagi). Tidak jarang ia menarik tunai uang hingga 200 juta rupiah, dibawa sendiri ! orang setua itu ! Uang itu untuk gaji karyawan mingguan, ia sendiri adalah karyawan di sebuah pabrik plastik.

Ketika kakek2 yang lain di pagi hari santai menyantap kopi sambil menimang cucu, Acek telah siap dengan setelan pekerja. Menyambung hidup dan menantang nasib. Saya pernah tanya, apakah ia punya keluarga ? “anak empat tapi udah pada nikah, masa tinggal ama saya ?” jawabnya balik bertanya. Lalu mengapa tidak tinggal dengan mereka? Empat anak membiayai satu orang tua, apa sulitnya? Tanya saya balik. “nggak lah, saya masih kuat sendiri kenapa mesti nyusahin anak. Yang penting mereka masih datang jenguk itu udah cukuplah.” Katanya filosofis. Pelajaran moral yang saya petik adalah bahwa usia bukan penghalang untuk berkarya, apalagi bekerja. Dan tidak ada alasan, apapun dan satupun, untuk menggantungkan hidup pada orang lain walau itu keluarga sendiri. Bukan berarti egois, hanya saja selama masih ada waktu dan kesempatan cobalah untuk berusaha toh Tuhan tidak tidur. Begitu kira2.

Seperti kebanyakan orang yang lanjut usia, Acek senang ngobrol. Kadang ngobrol dengannya ngalor ngidul, dan sering tak nyambung. Saya tidak tahu, apa saya yang kurang dengar atau Acek yang bicaranya sudah tak lancar. Saya hanya menjawab sekenanya saja “oh gitu ya Cek, iya bener, masa sih ? wah bagus kalo gitu” saya setuju saja. Jika kebetulan ia mampir ke counter , sebelum saya menyapa ia akan lebih dulu memberi salam dan tertawa entah karena apa. Baginya hidup adalah humor, tak perlu serius toh semua sudah pasti terjadi, sepasti ilmu pasti, bahwa 6x6 = bukan 66 tapi silahkan hitung sendiri. Tak perlu repot2 pakai rumus, hidup hanya soal mencari, mengisi lalu menjalani, setelah itu biar Tuhan yang atur.

Topik pembicaraannya memutar alias mbulet alias itu2 saja dan kadang tidak penting. Misalnya soal ia yang telah hidup sejak zaman kuda gigit besi. Saya tidak tahu dan tidak punya referensi ilmiah apakah kuda memang pernah menggigit besi, tapi kalau kuda pakai sepatu besi, iya. Hal itu ia ceritakan berulang kali, ia juga sering mengomel tentang anak muda sekarang yang tak tahu sejarah dan tak ada yang tahu bahwa sebenarnya Acek adalah pejuang, pernah ikut berperang melawan penjajah, tapi ia lupa siapa yang menjajahnya. Dan semua cerita itu hanya ada dalam kepalanya sendiri yang sudah ditutupi uban putih, sebuah konsekuensi dari bergulirnya dimensi waktu.

Meski sering terlihat ceria, tak jarang Acek juga cemberut seperti anak kecil kehilangan permen. Menjadi seperti ‘anak kecil’ di usia tua adalah sebuah siklus psikologi yang wajar dan manusiawi. Jika sedan tak mood, Acek tak mengucap salam dan tak ada cerita soal besi digigit kuda atau kisah heroik yang pernah dialaminya. Ia hanya melamun, menunggu transaksinya selesai dikerjakan. Suasana seperti itu menimbulkan perasaan tidak enak pada diri saya sendiri. Pertanyaan lain muncul dalam benak saya, apakah saya bisa sekuat itu di masa tua nanti ? apakah saya sudah mempersiapkan diri untuk waktu yang tak muda lagi ? saya telah banyak membuang waktu dan kesempatan. Di usia hampir seperempat abad ini, belum ada hal penting yang saya dapat. Saya masih mencari, masih belajar dan masih berusaha. Paling tidak saya ingin tegar dan percaya diri di ujung usia seperti Acek. Masih optimis dan masih hidup baik. Entah kapan ujung usia itu, kita tidak tahu. Bisa saja tahun ini, tahun besok atau seratus tahun lagi. Yang terpenting barangkali bukan seberapa lama manusia hidup, tapi seberapa ia berguna bagi hidup. Begitu kira2.

Acek memberi saya pelajaran penting soal integritas dan komitmen dengan diri sendiri, menyadarkan saya tentang persepsi waktu. Bahwa waktutak dapat diulang tak mungkin direcycle, jangan sampai terbuang percuma.

Salam (cap) Orang Tua

(mudah2an) To be continued..


Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun