Mohon tunggu...
Wendie Razif Soetikno
Wendie Razif Soetikno Mohon Tunggu... profesional -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Wendie Razif Soetikno, S.Si., MDM.\r\n\r\nAlumni AIM (Asian Institute of Management), Philippines (MDM 99). Alumni S-1 Kimia IPB (Nrp G26.1748). Alumni D-3 Kimia IKIP Malang (Nrp 24416). Alumni SMA St. Maria, Jl. Raya Langsep No.40 Malang. Alumni SMP St.Josef, Jl.Brigjen Slamet Riyadi No.58 Malang. Alumni Sd St.Josef, Jl.Semeru No.36 Malang\r\n\r\n \r\n\r\n\r\nBlog1 : http://menatapfajar.blogspot.com\r\nBlog2 : http://putrafajar-putrafajar.blogspot.com\r\n

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Kaldera Toba – Mitos dan Legenda, Cerita yang Tak Pernah Selesai

12 September 2011   03:12 Diperbarui: 6 Juli 2015   16:07 1273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Mengapa Samosir tetap menarik untuk dikunjungi meskipun destinasi wisatanya itu-itu saja? Mengapa orang tidak pernah kapok datang ke Samosir meskipun Tomok dan Tuktuk dari tahun ke tahun ya sama saja?Pasti ada yang menarik dari Samosir yang membuat orang tidak bosan datang ke Samosir.Menurut almarhum budayawan Tilhang Oberlin Gultom (pendiri Opera Batak), Samosir membuat rindu karena waktu seolah berhenti di Samosir, ada suasana Batak yang pekat yang hadir dalam atmosfer ruang dan waktu di Samosir yang tidak dipunyai oleh Parapat atau Balige. Yang dimaksud oleh Tilhang Oberlin Gultom adalah suasana yang merakyat tapi tidak murahan, semuanya serba terjangkau tapi tidak kehilangan esensi dan aroma kebatinan yang menyeruak di tengah-tengah deru modernisasi, yang membuat Samosir menjadi istimewa dari segi daerah maupun orang-orangnya. Suasana Batak yang khas nampak dalam keseharian masyarakatnya.Kita mudah menemukan busana, kuliner dan ornamen serta buah tangan (oleh-oleh) khas Batak dengan harga terjangkau di Ambarita, Tomok dan Tuktuk.

Menurut Bupati Samosir, Ir. Mangindar Simbolon, sudah ada empat pintu masuk ke Danau Toba.Sayang kurang disosialisasikan sehingga orang masih terpaku pada pola jalur Medan – Parapat. Bis dari terminal Amplas Medan atau travel yang mangkal di Jl. Sisingamangaraja Medan tidak setiap jam melayani jalur ini. Sesampai di Parapat, kita tidak mudah untuk menemukan kuliner khas Batak atau buah tangan (oleh-oleh) spesifik Tapanuli.Memang ada BPK (babi panggang Karo), tapi sayang dagingnya bukan daging segar lagi. Mirip dengan restoran Padang yang menyajikan makanan cepat saji yang dimasak berulang kali. Jangan tanya gallery atau museum Batak, sebab Parapat dan Balige sudah mirip kota-kota di pantura Jawa. Kalau kita mau menyeberang dari Parapat ke Ambarita di Pulau Samosir, tidak banyak kapal yang melayani rute ini.Lebih banyak kapal yang melayani rute Ajibata, Parapat – Tomok. Padahal di Ambarita terdapat pasar souvenir yang cukup beragam.

Desa Ambarita ini menarik karena mitos orang Batak Toba masa lampau masih menganut kanibalisme. Kini yang tersisa hanyalah jejeran kursi batu tempat para tetua mengadakan pertemuan untuk memutuskan nasib musuh yang tertangkap.

Perjalanan dari Ambarita ke Panguruan cukup memprihatinkan karena gundulnya bukit-bukit di Samosir.Sepanjang jalan hanya dipenuhi pemandangan bukit-bukit yang gundul dengan makam-makam leluhur. Suasana mistis terbangun melalui imaji penghormatan pada arwah leluhur.  Namun seandainya bukit-bukit ini dapat dihijaukan dan makam-makam ini dihiasi dengan patung-patung seperti yang ada di Taman Prasasti – Tanah Abang Jakarta, maka perjalanan selama lebih dari satu jam ini tidak akan melelahkan.

Di Simanindo, kita memiliki kesempatan untuk melihat peninggalan rumah raja yang telah diubah menjadi museum dengan replika desa di sekelilingnya. Di salah satu sudut terdapat juga makam raja-raja Batak Toba yang cukup terawat. Dari tepi Danau Toba di Simanindo, kita juga dapat melihat sebuah pulau kecil bernama Tao.Sayang tidak ada penunjuk yang menyatakan bahwa di sini ada museum.

Setiba di Panguruan, kita akan menyaksikan Gereja Santo Mikael yang dibangun dengan gaya rumah adat Tapanuli.Yang istimewa adalah bagian museum budaya Tapanuli yang letaknya persis di bagian bawah Gereja Santo Mikael ini.Salah satu museum di Samosir ini menyimpan artefak-artefak langka yang memudahkan kita mengenal satu sisi dari budaya Batak.

Jangan bayangkan pasar Panguruan seperti pasar super lengkap Beringharjo di Yogya. Di Pasar Panguruan, kita sulit mencari kuliner khas Batak dan buah tangan (oleh-oleh) Samosir.Rumah makan BPK ada dimana-mana, tapi seperti saya nyatakan di atas, dagingnya tidak lagi segar.Tepat di belakang pasar Panguruan ini, kita dapat menyaksikan deretan rumah adat Batak yang masih terawat.

Icon Panguruan adalah Aek Rangat (Air panas (hot spring) yang ada di kaki Gunung Pusuk Buhit, sayang air panasnya tidak mengalir, sehingga nuansa sehat agak meragukan.  Bagaimana bila air panas itu dibiarkan dalam bak beberapa lama  setelah merendam banyak orang dengan berbagai penyakit?   Tentu agak menyedihkan dari segi promosi spa alami.

Jadi siapa yang masih concern pada Samosir?  Kalau kita surfing maka kita akan ketemu SAVE LAKE TOBA COMMUNITY – tapi concern-nya masih soal sampah yang mengotori danau

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun