Mohon tunggu...
Wempie fauzi
Wempie fauzi Mohon Tunggu... Magister Ilmu Hubungan Internasional Universitas Paramadina

Bekas guru dengan konsentrasi bidang sejarah, politik nasional dan internasional

Selanjutnya

Tutup

Bola

Liga Jakarta U 17, Kawah Candradimuka Kepelatihan dan Uji Nyali Nyata Manajemen Sepak Bola Indonesia

13 Oktober 2025   11:42 Diperbarui: 13 Oktober 2025   11:42 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pertandingan tim Liga Jakarta. Foto: Prasetyo 

Kompetisi usia muda kerap dilihat hanya sebagai panggung bagi bibit-bibit pesepak bola masa depan. Namun, Liga Jakarta U-17 yang diikuti 16 kontestan ini menawarkan narasi yang lebih dalam dan kompleks: sebuah laboratorium kepelatihan yang keras dan penuh dinamika. 

Sejak bergulir pada April lalu dan baru akan berakhir November nanti, gelombang pergantian pelatih di sejumlah tim---seperti PSF, ISA, Mutiara Gemilang, dan UMS---membuka diskusi krusial tentang apa sebenarnya yang dibutuhkan untuk menjadi pelatih yang sukses dan berdaya tahan di level junior. Pergantian ini bukan sekadar soal selisih paham, tetapi lebih merupakan cermin dari tuntutan multidimensional yang harus dipikul seorang pelatih modern.

Fenomena  ini menunjukkan dengan jelas bahwa menjadi pelatih di liga semacam ini bukanlah tugas sederhana. Ia tak cukup  dengan mengandalkan modal keberanian atau pengalaman masa lalu, entah sebagai mantan pemain profesional maupun pelatih biasa. Tuntutannya jauh lebih kompleks dan melelahkan. Seorang pelatih di Liga Jakarta U-17 pada hakikatnya adalah seorang CEO sebuah proyek pengembangan. Ia dituntut menguasai segala aspek, mulai dari perencanaan latihan periodik yang detail, penanganan gizi dan pola makan pemain, manajemen cedera, hingga pengelolaan dinamika keuangan dan logistik dalam sebuah kompetisi panjang yang menampung tidak kurang dari 32 pertandingan per musim. Ini adalah sebuah maraton manajerial yang menguras energi dan pikiran, sekaligus pembuka wawasan tentang fakta dingin sebuah kompetisi.

Di sinilah bekal akademis yang solid dan kemauan untuk secara aktif mengadopsi teknologi, seperti analisis data performa melalui kecerdasan buatan, menjadi pembeda yang signifikan. Liga ini berfungsi sebagai cermin yang jujur dan tanpa ampun: pelatih dengan kemampuan teknis rata-rata dan yang enggan berinovasi akan langsung keteteran. Hasilnya terlihat nyata pada performa tim yang stagnan atau bahkan merosot, yang pada akhirnya berujung pada pencopotan. Sebaliknya, sinergi antara pelatih yang mumpuni, dengan visi pengembangan jangka panjang, dan manajemen akademi atau SSB yang solid serta profesional, biasanya melahirkan ekosistem prestasi yang konsisten. 

Tim-tim seperti Bina Mutiara dan Farama Academy menjadi bukti nyata dari teori ini. Stabilitas dan catatan mengesankan mereka di papan atas liga tidak lahir dari kebetulan atau bakat individu semata, melainkan dari sistem kepelatihan dan manajemen yang terintegrasi dari hulu ke hilir, didukung oleh perencanaan yang matang dan sumber daya yang memadai.

 Tim Farama Academy. Foto: Prasetyo
 Tim Farama Academy. Foto: Prasetyo
Namun, di balik kesuksesan tim-tim papan atas, ada juga cerita menarik dan penuh pembelajaran dari sisi lain spektrum. Bintang Ragunan, misalnya, menunjukkan bahwa progres dan perkembangan positif tetap mungkin dicapai meski dengan sumber daya finansial dan infrastruktur yang terbatas. Dari hanya meraih satu kemenangan di putaran pertama, mereka berhasil melampaui ekspektasi dengan menambah jumlah kemenangan di putaran kedua. Ini adalah indikasi kuat adanya proses kepelatihan yang progresif, adaptif, dan mampu memaksimalkan potensi yang ada, sekalipun dalam keterbatasan. Pelatihnya berhasil menciptakan lingkungan yang memungkinkan pemain untuk berkembang secara kolektif, membangun mental pemenang, dan menunjukkan kurva pembelajaran yang positif---sebuah prestasi yang tak kalah berharganya dari merebut gelar juara.
Tengku Chairul Wisal. Foto: Prasetyo 
Tengku Chairul Wisal. Foto: Prasetyo 
Kontras sekali dengan nasib tragis yang menimpa tim ikonik seperti UMS. Dengan sejarah gemilang dan usia lebih dari 75 tahun, mereka justru terperosok di papan bawah dan berpeluang besar menjadi juru kunci. Kondisi ini menyoroti sebuah realita pahit dan sering terabaikan: pelatih terbaik dan paling visioner sekalipun akan kesulitan, bahkan mustahil, berbuat banyak jika tidak didukung oleh struktur manajemen klub yang jelas, stabil, dan profesional. Ketidakstabilan manajemen, yang ditunjukkan dengan pergantian pelatih berkali-kali tanpa arah yang jelas, inilah yang diduga menjadi akar masalah. Hal ini membuat program pelatih tidak berjalan optimal, perencanaan jangka panjang tidak terbentuk, dan pada akhirnya prestasi tim menjadi fluktuatif dan cenderung menurun. UMS menjadi pelajaran berharga bahwa fondasi manajemen yang rapuh akan meluluhlantahkan legasi sehebat apapun.

Penutup: Sebuah Refleksi dan Harapan untuk Masa Depan

Dinamika pergantian pelatih dan perjalanan naik-turun tim-tim di Liga Jakarta U-17 ini adalah contoh kecil yang sangat berharga bagi masa sepak bola Indonesia. Ia membuktikan dengan tegas bahwa seorang pelatih berkualitas tidak lahir dari proses instan atau sekadar mengandalkan nama besar di masa lalu. Mereka ditempa dan diuji dalam kompetisi panjang yang penuh tekanan, baik secara fisik, teknis, mental, maupun manajerial. Liga Jakarta U-17 adalah kawah candradimuka yang sesungguhnya, tempat karakter dan kompetensi seorang pelatih muda digodai.

Energi luar biasa yang dibutuhkan untuk bertahan dan sukses di kompetisi junior ini adalah investasi berharga yang akan membentuk pola pikir dan ketangguhan mereka. Bagi para pelatih, pengalaman mengarungi turbulensi Liga Jakarta adalah arena pematangan yang tak ternilai harganya. Ini adalah fondasi yang kokoh jika kelak mereka bercita-cita mengelola klub di level yang lebih tinggi, baik di dalam maupun luar negeri. Dalam jangka pendek, proses tempaan yang keras dan komprehensif inilah yang diharapkan dapat secara bertahap melahirkan generasi pelatih-pelatih lokal yang tangguh, modern, dan mampu bersaing dengan dominasi pelatih asing di kancah Liga 1 Indonesia. Liga Jakarta U-17, dengan demikian, bukan sekadar tentang mencetak pemain bintang, tetapi yang tak kalah pentingnya adalah tentang menempa dan menyaring pelatih-pelatih andal yang akan membawa masa depan sepak bola Indonesia ke arah yang lebih terstruktur dan profesional.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun