Maka, WKM mencoba menelusuri ke belakang, siapa yang bertanggung jawab atas hal ini. Lewat citra satelit sentinel, muncul hal yang ganjil: pada Agustus 2024 jalan yang dilebarkan muncul di satelit. Dari udara, jalur itu tampak memanjang dan melebar, dari 20 meter, 50 meter, hingga mencapai 134 meter setahun kemudian.
Fakta ini merobohkan klaim POS yang menyebut mereka sekadar memperbaiki jalan yang "sudah ada." Karena ternyata, jalan tersebut diperlebar hingga lebih dari 100 meter.
Tak berhenti di pelebaran itu. Karena pada 12 Februari 2025, tim engineering WKM menemukan bukaan lahan mencurigakan. Karena itu, besoknya, 13 Februari, WKM mengajak tim POS bertemu, sepakat untuk inspeksi gabungan.
Namun pada 16 Februari, saat inspeksi dijalankan, tim POS menarik diri. WKM Bersama Brimob tetap turun, dan menemukan bukaan hutan seluas 73 hektare yang mengandung endapan nikel laterit yang ada di wilayah milik WKM. Beberapa hari kemudian, 18 Februari, WKM mengirim surat resmi kepada Kapolda Maluku Utara. Polisi memasang garis polisi di lokasi pada 27 Februari. Tetapi anehnya, garis polisi itu menghilang sebulan kemudian. Portal kayu yang dipasang WKM pun raib.
Kemudian, WKM memasang portal besi. Tujuannya satu: memagari wilayah eksplorasi nikel milik WKM yang diambil oleh POS. Meski sebulan kemudian, portal besi dicabut WKM atas permintaan satu pihak---bukan permintaan POS. Masalah ini kemudian selesai.
Tapi, alih-alih menyeret POS ke pidana kehutanan dan KUHP karena menyerobot lahan orang, justru dua karyawan WKM yang dijerat polisi: Marsel Bialembang, seorang surveyor tambang, dan Awwab Hafidz. Oleh penyidik Mabes Polri, mereka ditetapkan sebagai tersangka hanya karena memasang patok di jalan konsesi mereka sendiri. Ya, patok itu berada di konsesi WKM sendiri. Bahkan diproses pemeriksaan, beberapa saksi dan ahli kehutanan dan pertambangan dari pihak WKM tak diperiksa polisi
Sebetulnya tak cuma perusahaan, yakni WKM yang mendapat perlakuan tak adil oleh polisi. Juga 11 masyarakat yang memprotes dugaan eksploitasi ugal-ugalan nikel yang dilakukan PT Position. Kesebelas orang itu ditangkap polisi dan diadili. Tuduhannya: seperti biasa, merusak dan menghasut masyarakat.
Kasus-kasus yang janggal? Iya.
Maka wajarlah bila kuasa hukum WKM, Otto Cornelis Kaligis, langsung menuding ada kriminalisasi. "Yang seharusnya dipidanakan itu PT Position, karena diduga melakukan penambangan liar. Klien saya justru menjaga wilayahnya. Ini jelas ada mafia tambang bermain," ujar Kaligis.
Kaligis kemudian mengajukan praperadilan di PN Jakarta Selatan pada 1 Agustus 2025. Dalam permohonannya, ia menyebut penyidik Bareskrim melanggar prosedur, terlalu tergesa, dan salah sasaran. "Bukti satelit, drone, laporan Gakkum, suara warga, semuanya mengarah ke PT Position. Tapi mengapa justru orang WKM yang dipenjara?" katanya.
Kegeraman Kaligis tergambar dalam suasana sidang lanjutan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, 20 Agustus 2025. Kaligis dalam sidang menuding pasal yang dipakai penyidik berubah-ubah: awalnya Pasal 162 UU Minerba jo Pasal 50 ayat 3 UU Kehutanan, lalu berganti ke Pasal 50 ayat 2. "Pertanyaan kepada saksi pun tak ada kaitan dengan pasal itu. Hanya soal pemasangan patok sekali dalam 24 jam, kok bisa dijadikan pidana. Kalau hakim jujur, klien saya harus bebas," katanya.