Mohon tunggu...
welni yunelti
welni yunelti Mohon Tunggu... Mahasiswa

Menulis bagiku adalah jendela kehidupan yang dimana tempat saya menuangkan sesuatu.

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal

Hidup Dalam Bayang-Bayang Utang Keluarga: Mencari Jalan Pulang

18 Juli 2025   06:55 Diperbarui: 18 Juli 2025   06:55 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
input foto: orang, tabungan dan uang (sumber/freepik)

Dalam realitas hidup banyak keluarga di Indonesia, utang bukan sekadar catatan angka di kertas pinjaman, melainkan cerita panjang tentang perjuangan, pengorbanan, dan kadang kesalahan. 

Banyak dari kita tumbuh dalam lingkungan di mana utang menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, terutama bagi keluarga yang berpenghasilan pas-pasan. Di tengah tekanan kebutuhan dan harapan keluarga, utang sering kali terlihat seperti satu-satunya jalan keluar.

Saya menyaksikan sendiri bagaimana utang bisa menjadi penyelamat sementara bagi keluarga kami. Sejak saya masuk SMP kelas VII, orang tua saya meminjam uang dari kerabat agar saya bisa bayar uang kas. Kami tidak punya tabungan yang cukup. 

Saya tahu bukan hal mudah bagi papa saya untuk meminjam uang, apalagi dengan bunga. Tapi papa lakukan itu dengan wajah tenang dan senyum tipis, seakan semuanya baik-baik saja. Di balik senyum itu, ada beban besar yang saya baru pahami setelah dewasa.

Bukan hanya keluarga saya. Banyak teman-teman saya juga mengalami hal serupa. Ada yang orang tuanya berhutang untuk biaya pengobatan nenek. Ada yang harus rela ikut bekerja sambilan karena gaji orang tuanya habis untuk membayar cicilan. 

Bahkan ada yang terpaksa cuti kuliah karena keluarganya terlilit utang rentenir. Yang menyedihkan, banyak dari hutang itu awalnya diambil dengan niat baik demi keluarga. Tapi niat baik tidak selalu berakhir dengan hasil baik, terutama jika tidak disertai perhitungan yang matang.

Dalam masyarakat kita, ada semacam tekanan sosial yang membuat orang merasa harus mampu, harus berjasa, harus memberi yang terbaik, meski sebenarnya belum sanggup. 

Banyak orang tua merasa gagal kalau tidak bisa membiayai pendidikan anak sampai sarjana. Banyak anak merasa bersalah jika tidak bisa membantu ekonomi rumah. Dari sini, muncul keputusan-keputusan yang kelihatan heroik, tapi menyimpan risiko besar meminjam uang di luar kemampuan, berutang ke orang lain, gadai surat tanah, bahkan gali lubang tutup lubang.

Kita perlu jujur bahwa tidak semua utang itu sehat. Ada utang yang produktif, seperti modal usaha, atau utang pendidikan yang memang untuk membangun masa depan. Tapi banyak juga utang yang justru menjerumuskan pinjam untuk keperluan konsumtif, pesta, beli barang mewah agar tidak dianggap ketinggalan, atau membayar cicilan dari cicilan sebelumnya. 

Semua ini jika dibiarkan, bisa membuat sebuah keluarga yang awalnya harmonis menjadi penuh pertengkaran, saling menyalahkan, dan kehilangan arah. 

Buat sebagian orang, utang hanyalah soal angka. Sebuah transaksi. Masuk, keluar, lalu selesai. Tapi bagi banyak keluarga di Indonesia, termasuk keluarga saya, utang bukan sekadar baris di atas kertas pinjaman. Ia adalah cerita panjang yang sering kali dimulai dari cinta dan tanggung jawab namun kadang berakhir pada luka dan penyesalan.

Saya masih ingat, saat duduk di bangku kelas VII SMP, saya mengalami momen yang membuat saya sadar: hidup ini tidak selalu sederhana. Saat teman-teman saya bisa dengan mudah membayar uang kas, membeli buku baru, atau ikut kegiatan ekstrakurikuler, saya hanya bisa diam. Di rumah, kami sedang kesulitan. Bahkan untuk membayar uang kas sekolah yang jumlahnya tidak seberapa, papa harus meminjam uang dari kerabat.

Saya tahu, papa saya bukan tipe orang yang suka mengeluh. Tapi saya bisa membaca dari cara dia menghela napas, dari tatapan matanya yang kosong sesekali, bahwa ada beban besar yang ia pikul. Ia meminjam uang dengan bunga, dan tetap pulang ke rumah dengan senyum tipis, seolah segalanya baik-baik saja. Saat itu saya belum mengerti. Tapi hari ini, saya tahu senyum itu adalah bentuk perlindungan supaya anak-anaknya tidak ikut merasa khawatir.

Bertahun-tahun kemudian, saya mulai menyadari bahwa cerita seperti ini bukan hanya milik keluarga saya. Teman-teman saya punya kisah yang sama getirnya. Ada yang orang tuanya harus berhutang ke tetangga untuk biaya pengobatan nenek. Ada yang sejak SMA sudah bekerja sambilan karena gaji orang tuanya habis untuk membayar cicilan motor. Bahkan ada yang terpaksa berhenti kuliah karena keluarganya terlilit utang rentenir. Satu persatu cerita itu membentuk gambaran besar: bahwa utang bukan hanya soal ekonomi, tapi soal pilihan-pilihan yang sulit dalam hidup.

Yang menyedihkan, banyak dari hutang itu muncul dari niat yang baik. Orang tua meminjam uang agar anaknya bisa sekolah. Anak berhutang agar bisa bantu keuangan rumah. Tapi seperti yang kita tahu, niat baik saja tidak cukup. Tanpa perhitungan, tanpa rencana matang, utang bisa berubah dari solusi menjadi jebakan.

Di masyarakat kita, ada tekanan sosial yang tidak selalu terlihat, tapi sangat terasa. Tekanan untuk terlihat mampu, untuk tidak kalah, untuk jadi anak yang membanggakan. Banyak orang tua merasa gagal jika tidak bisa membiayai anak sampai sarjana. Banyak anak merasa tidak berguna jika tidak bisa bantu ekonomi rumah. Di bawah tekanan itulah muncul keputusan-keputusan yang tampak heroik, tapi menyimpan risiko besar: pinjam uang berlebihan, gadai surat tanah, bahkan gali lubang untuk tutup lubang lainnya.

Saya tidak bilang semua utang itu buruk. Ada utang yang produktif untuk modal usaha, untuk biaya pendidikan, untuk membangun masa depan. Tapi tidak sedikit pula utang yang justru destruktif digunakan untuk kebutuhan konsumtif, pesta, membeli barang mewah demi gengsi, atau lebih parah lagi untuk membayar cicilan dari cicilan sebelumnya.

Semua ini bisa menjadi awal dari keretakan. Rumah yang tadinya hangat bisa berubah menjadi penuh ketegangan. Suami-istri mulai saling menyalahkan. Anak-anak merasa terbebani. Harapan yang dulu dibangun bersama, perlahan-lahan menjadi hancur karena beban yang terlalu berat untuk dipikul bersama.

Saya menulis ini bukan untuk menghakimi siapa pun. Justru sebaliknya. Saya ingin kita mulai bicara lebih jujur soal realita ini. Tentang keberanian untuk bilang, Saya belum mampu. Tentang keikhlasan untuk hidup sesuai kemampuan. Tentang pentingnya belajar mengelola keuangan, sekecil apa pun pendapatan kita. Karena kadang, kesederhanaan bisa jadi penyelamat.

Mungkin sudah saatnya kita menyadari: menjadi orang tua hebat bukan berarti bisa membelikan segalanya, tapi bisa tetap waras dan bahagia bersama keluarga. Menjadi anak yang membanggakan bukan berarti bisa mengatasi semua masalah finansial, tapi tetap punya hati yang mengerti dan tidak menambah beban orang tua.

Utang bisa jadi teman, bisa jadi lawan. Semua tergantung bagaimana kita memperlakukannya. Dan semoga, cerita tentang utang di rumah kita, tidak selalu berakhir dengan air mata tapi menjadi pelajaran berharga yang mendewasakan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun