Beberapa bulan yang lalu,saya mendengar sebuah kalimat yang awalnya terdengar jenaka, tapi ternyata penuh makna"Bersyukurlah masih punya beban pikiran. Katanya, orang kesurupan itu karena pikirannya kosong."
Saya sempat tertawa mendengarnya. Tapi lama-lama, saya termenung. Ada benarnya juga. Di tengah hari-hari yang sibuk, pikiran saya sering terasa sesak. Banyak hal berseliweran tugas yang belum selesai, masa depan yang belum jelas, keinginan yang belum tercapai, dan harapan yang rasanya semakin jauh. Pikiran penuh, dada sesak, tidur pun tak nyenyak. Tapi saat saya mengingat masa-masa di mana saya tak merasa apa-apa, saya justru lebih takut dengan kekosongan itu.
Ya, saya pernah berada di fase hidup di mana saya tidak punya beban pikiran. Bukan karena hidup saya baik-baik saja, melainkan karena saya sudah terlalu lelah untuk peduli. Saya bangun tidur tanpa semangat, menjalani hari dengan datar, dan menutup malam tanpa harapan. Pikiran kosong, jiwa hampa. Rasanya seperti berjalan tanpa arah, seperti hidup tapi tidak benar-benar hidup. Dan saat itulah, saya merasa paling rapuh.
Kita sering salah paham. Mengira ketenangan adalah ketika tidak ada beban, padahal kadang justru beban itulah yang membuat kita terus bergerak. Saya mulai sadar bahwa beban pikiran adalah bukti bahwa saya masih punya rasa tanggung jawab, masih punya harapan, masih punya keinginan untuk memperbaiki hidup. Dalam beban itu, ada cinta kepada keluarga, kepada masa depan, bahkan kepada diri sendiri.
Saya mulai belajar untuk berdamai dengan isi kepala saya yang sering gaduh. Memang tidak mudah. Ada hari-hari di mana saya ingin menyerah, ingin berhenti memikirkan semuanya. Tapi perlahan, saya belajar memilah mana yang penting untuk dipikirkan, mana yang sebaiknya dilepaskan.
Beban pikiran yang sehat bisa menjadi bahan bakar untuk maju. Tapi jika dibiarkan terlalu lama dan menumpuk, ia bisa berubah menjadi racun. Maka saya mulai belajar untuk istirahat. Menepi. Mengobrol dengan diri sendiri. Menanyakan,Kamu capek karena apa hari ini? Apa yang bikin kamu merasa berat?
 Kadang jawabannya sederhana: saya hanya butuh dihargai. Saya hanya ingin dimengerti. Saya hanya ingin tahu bahwa semua ini tidak sia-sia.
Dan memang tidak sia-sia. Rasa lelah yang saya rasakan hari ini, pikiran yang sibuk, beban yang menumpuk semua itu adalah bagian dari perjalanan menjadi dewasa. Bagian dari pembentukan mental dan hati yang lebih kuat. Tanpa beban, saya tidak akan pernah belajar bertahan. Tanpa kegelisahan, saya tidak akan pernah belajar mencari makna.
Saya juga mulai lebih memahami orang lain. Saya jadi lebih hati-hati dalam menilai. Karena saya sadar, setiap orang sedang membawa beban di kepalanya. Ada yang tampak tenang, tapi sedang berperang dalam batinnya. Ada yang terlihat kuat, padahal sedang lelah luar biasa. Kita semua berjuang, meski bentuknya berbeda-beda.
Saat ini, ketika saya merasa kepala saya penuh, saya tidak lagi langsung mengeluh. Saya tarik napas dalam-dalam, dan mencoba berterima kasih pada diri sendiri.Terima kasih sudah bertahan sejauh ini. Terima kasih sudah tetap berjalan, meski langkahmu berat. Terima kasih sudah tetap memikirkan masa depan, meski hari ini kamu lelah.
Jika kamu yang membaca tulisan ini sedang merasa kepalamu penuh, jiwamu letih, dan harimu terasa begitu padat kamu tidak sendiri. Kita semua pernah berada di titik itu. Tapi percayalah, beban itu bukan musuhmu. Ia adalah tanda bahwa kamu masih hidup, masih punya sesuatu yang kamu perjuangkan.
Dan selama kamu masih punya sesuatu yang membuatmu berpikir keras, itu artinya kamu masih punya harapan. Karena orang yang sudah benar-benar menyerah biasanya sudah berhenti memikirkan apa pun. Dan konon, seperti kata orang-orang yang kesurupan itu karena pikirannya kosong.
Jadi, bersyukurlah. Kepalamu boleh penuh, hatimu boleh letih, tapi jiwamu masih hidup. Masih menyala. Dan itu layak disyukuri.