Pernahkah kita merasa sudah baik-baik saja, padahal hati masih menyimpan luka? Kita tersenyum, tertawa, bahkan menolong orang lain, seolah semuanya telah selesai. Padahal jauh di dalam diri, ada sesuatu yang belum benar-benar pulih. Luka itu belum sembuh---hanya kita tambal, kita tutupi, agar tidak terlihat oleh dunia.
Seringkali, kita terburu-buru menyatakan bahwa semuanya baik-baik saja. Kita memasang "plester" atas rasa sakit, berharap itu cukup untuk melanjutkan hidup. Tapi, seperti luka fisik yang hanya ditutup tanpa dibersihkan, luka batin pun bisa membusuk perlahan jika tidak dirawat dengan benar.
Saya pernah berada di titik di mana saya merasa semua baik-baik saja. Saya tertawa di hadapan orang banyak, terlihat kuat, aktif, bahkan bisa memberi semangat kepada orang lain. Tapi saat malam datang dan kesendirian menyapa, saya sadar: ada luka yang belum sembuh. Saya pikir, dengan terus menyibukkan diri, semua rasa sakit itu akan hilang. Ternyata tidak. Saya hanya menambal luka itu, bukan menyembuhkannya.
Bertahun-tahun saya hidup dengan cara seperti itu. Menambal rasa kecewa, menyimpan marah, menutup rapat-rapat perasaan terluka. Saya terlalu takut untuk menghadapinya. Saya pikir, kalau saya membiarkannya terbuka, saya akan semakin hancur. Padahal, kenyataannya justru sebaliknya. Menyimpan luka membuat saya perlahan kehilangan diri sendiri. Saya menjadi pribadi yang mudah lelah secara emosional, mudah tersinggung, dan sulit mempercayai orang lain.
Sampai akhirnya saya lelah. Saya lelah pura-pura kuat. Saya lelah menambal luka yang terus-menerus robek. Di titik itu, saya memutuskan: cukup. Saya tidak ingin terus hidup dalam kepura-puraan. Saya ingin pulih, sepenuhnya. Bukan hanya tampak baik dari luar, tapi benar-benar merasa damai di dalam.
Perjalanan pulih ternyata tidak mudah. Saya harus kembali mengingat hal-hal yang ingin saya lupakan. Saya harus jujur pada diri sendiri, bahwa saya pernah disakiti, pernah gagal, dan pernah merasa tidak berharga. Tapi dari kejujuran itu, saya mulai menemukan kekuatan. Saya belajar untuk menerima masa lalu, tanpa harus terus tinggal di dalamnya.
Saya mulai memberi ruang bagi diri sendiri untuk merasakan. Kalau sedih, saya biarkan menangis. Kalau marah, saya belajar mengekspresikannya dengan sehat. Saya tidak lagi menekan semua emosi hanya karena ingin terlihat baik. Saya mulai menyadari bahwa proses pulih bukan berarti menghapus luka, tapi mengizinkan luka itu menjadi bagian dari cerita saya---cerita yang membentuk saya menjadi lebih kuat dan lebih bijak.
Hari ini, saya masih dalam proses. Tapi saya sudah tidak lagi bersembunyi. Saya tidak lagi menambal luka hanya agar orang lain tidak khawatir. Saya memilih untuk pulih secara utuh, perlahan tapi pasti. Karena saya percaya, saya layak mendapatkan ketenangan yang sesungguhnya, bukan yang semu.
Untuk siapa pun yang sedang berada di titik seperti yang pernah saya alami, saya ingin berkata: kamu tidak sendiri. Jangan terus menambal luka itu. Hadapi, rawat, dan pulihkan. Mungkin tidak mudah, tapi percayalah, itu akan sangat melegakan. Luka bukan untuk ditutup-tutupi, tapi untuk disembuhkan.
Saatnya pulih sepenuhnya. Bukan demi siapa-siapa, tapi demi dirimu sendiri.