Mohon tunggu...
Weinata Sairin
Weinata Sairin Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Teologi dan Aktivis Dialog Kerukunan

Belajar Teologia secara mendalam dan menjadi Pendeta, serta sangat intens menjadi aktivis dialog kerukunan umat beragama

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Pentakosta Memperkuat Tugas Kesaksian Gereja di Tengah Dunia yang Terluka

23 Mei 2021   16:58 Diperbarui: 23 Mei 2021   17:00 899
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://pixabay.com/id/illustrations/merpati-api-pentakosta-roh-kudus-5061950/

"Maka penuhlah mereka dengan Roh Kudus..."(KPR 2:4a)

Kata memiliki kekuatan yang amat dahsyat,  bahkan bisa melebihi senjata tajam sekalipun.  Kata memiliki kuasa, kata memiliki makna. Para sastrawan, orator, pemikir, pemimpin,  menggunakan kata untuk mempengaruhi orang lain dan menyampaikan gagasan mereka.  Dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain dari berbagai latar belakang,  pemilihan kata menjadi sesuatu yang amat penting. Kata-kata yang punya makna bersayap atau bahkan memiliki makna khusus dalam suatu budaya tradisi tertentu, perlu ekstra cermat penggunaannya. Kesalahan interpretasi oleh masyarakat bisa menimbulkan hal-hal yang amat fatal.

Yesus amat cerdas dalam menggunakan kata-kata tatkala Ia menyampaikan ajaranNya.  Ketika seseorang mengatakan ingin mengikuti Yesus, tetapi ia minta izin dahulu untuk mengubutkan ayahnya, Yesus mengatakan, "biarlah orang mati menguburkan orang mati, tetapi engkau pergilah  dan beritakanlah Kerajaan Allah di mana-mana" (Lukas....).  Dengan penggunaan kata yang padat makna, Yesus ingin mengatakan bahwa tekad untuk mengikut Dia, tak boleh surut oleh kendala apa pun, termasuk kendala kematian ayah. Yesus menginginkan sebuah keputusan eksistensial yang signifikan. Mengikut Dia, memberitakan kabar kesukaan, memproklmasikan Kerajaan Allah memerlukan  resiko dan "biaya tinggi", keputusan itu tak boleh ditunda-tunda, tak bisa ditawar-tawar.

Paulus dalam banyak tulisannya menampilkan citra seorang tokoh yang amat tajam dalam  memilih dan menggunakan kata. Gaya bahasa yang antagonistik dan kontradiktif acap digunakan Paulus  untuk memperjelas gagasannya. Dalam upaya memberikan pembedaan substantif antara orang yang belum dan sudah diselamatkan Kristus,  Paulus memilih kata-kata yang maknanya amat dalam dengan gaya yang antagonistik. Dalam Roma 6, pemilihan kata-kata seperti itu amat transparan. Paulus menyatakan bahwa warga Gereja "telah mati bagi dosa, tetapi hidup bagi Allah dalam Kristus  Yesus" (Rm.6:11). Mereka seharusnya tidak lagi menyerahkan anggota tubuh kepada dosa sebagai senjata kelaliman, tetapi menyerahkannya kepada Allah untuk menjadi senjata-senjata kebenaran (Rm.6:13).  Dalam pemahaman Paulus, seseorang yang menyerahkan hidupnya dan percaya  kepada Kristus telah mengalami pembaruan eksistensial: Ia tidak lagi menjadi hamba dosa,  tetapi menjadi hamba kebenaran (Rm. 6:18). Pemakaian, pemilihan dan pemilahan kata yang dilakukan oleh Paulus amat membantu dalam memahami gagasan-gagasannya.   Gereja-gereja dan umat Kristen pada tanggal 23 Mei 2021 memperingati Hari Pentakosta (Yun.: kelima puluh), yaitu peringatan dicurahkannya Roh Kudus ke atas persekutuan umat beriman.

Hari Pentakosta terjadi 50 hari sesudah Hari Paskah,  dan merupakan pemenuhan janji Yesus Kristus kepada murid-muridNya (Yoh. 14:16, 17, 26). Kuasa Roh Kudus , menurut laporan Kisah Para Rasul, telah memungkinkan para rasul berbicara dalam berbagai bahasa,  sehingga orang banyak tercengang dan heran terhadap kemampuan para rasul itu, ada juga yang dengan sinis menyindir bahwa rasul-rasul itu sedang mabuk oleh anggur manis. Namun Petrus menolak sindiran itu; rasul-rasul itu kata Petrus, tidak mabuk.  Namun, sesuai dengan nubuat Nabi Yoel, mereka mengalami pencurahan Roh Kudus.  Sehubungan dengan pencurahan Roh Kudus, dalam suratnya kepada jemaat di Efesus, Paulus mengedepankan beberapa pemikiran yang cukup menarik untuk digarisbawahi.  Secara antagonistik Paulus menggunakan kata-kata "mabuk oleh anggur" di satu pihak dan "penuh dengan Roh" di pihak lain untuk mendorong warga jemaat agar mereka memanifestasikan diri sebagai anak-anak terang (Ef.5:18). Kemungkinan besar memang ada "oknum" warga jemaat di Efesus yang suka anggur, bahkan hidupnya dipenuhi dengan air anggur.  Keterikatan dengan anggur membuka kemungkinan seseorang mabuk,  lepas kendali dan muaranya  adalah perbuatan-perbuatan yang tercela, yang bertentangan dengan hakikat sebagai anak-anak terang. Itulah sebabnya Paulus meminta agar mereka memperhatikan dengan saksama, bagaimana mereka hidup.  Mereka harus mencermati dan melakukan kajian kritis tentang hidup mereka.

Mereka jangan asal hidup, sekadar hidup, tetapi hidup yang benar-benar hidup; bukan hidup yang sembarangan, hidup yang instan.  Kata saksama (Yunani: akribos) merujuk pada kata cermat, kehati-hatian, memperhatikan tanda-tanda.  Jangan hidup seperti orang bebal (Yun.:
: ashopoi), bodoh, tak berhikmat,  tak bijak; tetapi hiduplah penuh hikmat, arif, menggunakan waktu yang ada, mencoba mengerti kehendak Tuhan (Ef. 5:15-17). Paulus berasumsi bahwa hidup yang mabuk anggur akan menimbulkan hawa nafsu, bertentangan secara diametral dengan hdup yang dipenuhi dengan Roh Kudus. Alkitab mengungkapkan anggur dalam dua "wajah" yang berbeda, positif dan negatif.  Realitas ini harus mendorong kita untuk mencermati dengan saksama teks dan konteks dalam membaca Alkitab.

Dalam teks Efesus 5:18, anggur berkonotasi negatif,  yang dapat menimbulkan hawa nafsu. Anggur adalah pencemooh, minuman keras adalah peribut,  tidaklah bijak orang terhuyung-huyung karenanya kata Amsal (Ams.20:1).  Namun, dalam beberapa kesaksian Alkitab, anggur tidak selalu bermakna negatif. Dalam dialog antar-pohon yang dikisahkan  dalam Kitab Hakim-Hakim, pohon anggur mengklaim bahwa buah yang dihasilkannya menyukakan hati Allah dan manusia (Hak 9:13). Dalam  pesta perkawinan di Kana (Yoh. 2: 1-11) anggur memiliki peran yang penting; dalam acara inilah  Yesus melalui mukjizat-Nya mengubah air menjadi anggur!

Peringatan Paulus dalam Efesus 5:18 mesti dilihat dalam konteks budaya saat itu dan dihubungkan dengan identitas sebuah komunitas Kristen  yang mestinya mewujudkan hal-hal yang positif.  Nasihat Paulus seperti itu beberapa kali ia katakan,  bahkan juga menjadi syarat bagi mereka yang menjadi pelayan jemaat (Rm. 14:21; 1Tim. 3: 3,8). Paulus cerdas dalam memilih dan menggunakan kata-kata; bahkan kata-kata yang Paulus gunakan  memiliki kekuatan, mempunyai daya.

Pentakosta---hari kelima puluh---adalah kata yang memakna.  Roh Kudus, Roh Penolong, Roh Penghibur diutus oleh Bapa  dan dicurahkan ke atas orang-orang percaya, untuk menuntun jalan hidup mereka.  Gereja dan umat Kristen sudah semestinya  penuh dengan Roh,  bukan mabuk oleh anggur. Dengan cara itu kekristenan memberi makna  bagi dunia yang dihidupinya. Pentakosta adalah kata yang memakna, tetapi Pentakosta tak boleh berhenti pada kata. Pentakosta seharusnya mewujud dalam akta, dalam tindak nyata yang mengharumkan nama Allah.
Pentakosta menjadi sumber kekuatan baru bagi Gereja untuk berkarya ditengah dunia yang luka dan didera derita.
Gereja tidak boleh diam bisu tatkala trjadi pelanggaran HAM,diskriminasi,penyegelan rumah ibadah.
Gereja yang dikuasai Roh Kudus harus
menjadi nabi pada zamannya yg menyuarakan kebenaran tanpa lelah,tanpa henti!
Selamat Merayakan Hari Pentakosta.
God Bless!

Refleksi Hari Pentakosta 23 Mei 2021:
"PENTAKOSTA MEMPERKUAT TUGAS KESAKSIAN GEREJA DI TENGAH DUNIA YANG TERLUKA"
Oleh Weinata Sairin

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun