Ketika pindah ke negeri sakura ini, waktu itu si sulung masih berumur 6 bulan. Gimana ngurusnya seorang bayi di sebuah tempat yang bukan negeri sendiri sempat membuat saya khawatir dan was-was. Untungnya suami bisa menangkap saya rasa cemas saya dan menawarkan untuk sementara kita semua tinggal dulu bersama di rumah orang tuanya. Tawaran yang langsung saya sambut baik. Sambil kami mencari rumah tinggal, saya pun bisa konsen belajar tentang Jepang. Beradapatasi dilingkungan baru itu ternyata tidak mudah, apalagi saya bukan bawa badan sendiri tapi ada anak kecil yang butuh ayoman dan didikan yang sesuai dengan tempat tinggalnya yang sekarang ini.
Berguru pada ibu mertua, saya mulai belajar bagaimana mengurus seorang bayi berumur 6 bulan. Saat itu anak sulung saya sudah bisa duduk dan mulai mendapatkan makanan tambahan selain ASI. Ibu mertua saya melihat bagaimana saya kerepotan menyuapi makan anak saya yang mulai merangkak kesana kemari. Belum lagi kalau dilepeh/dimuntahkan.
Suatu hari okaasan (panggilan untuk ibu mertua), mengajak saya ke toko peralatan bayi. Disana ia menyarankan untuk membeli kursi makan anak. Jadi nantinya saya bisa taruh si anak duduk di situ saat sedang memberi makan, gak perlu kejar kejaran lagi. Oh, bagus juga begitu, pikir saya. Karena setelah dicoba, wow sekali! anak saya bisa konsen dan jadi cepat selesai makannya, dan itu tidak disuapin!! Okaasan mengajarkan agar saya membuat onigiri yang di pulung bulat-bulat dengan maksudnya mudah untuk dicomot dan langsung di caplok oleh si kecil, lalu lauknya? Dengan bentuk yang sama dan ukuran yang sama semua makanan saya sajikan buat si sulung, dan senangnya itu semua selalu dihabiskan oleh si kecil.
Lalu pindahlah saya ke rumah baru, saat itu saya baru lahiran anak kedua. Kebayang bagaimana repotnya ada 2 bayi di rumah (jarak hanya 1.5 tahun) tanpa ada seorang pun membantu kecuali suami. Kelimpungan dan pentalitan sendiri menghadapi urusan RT dan mengurus bayi-bayi. Untungnya saya sidah sedikit belajar bagaimana menangani anak bayi pengalaman si sulung saat tinggal bareng di Pondok Mertua Indah dulu. Dan teknik-teknik yang dulu pun saya terapkan juga untuk si bungsu.
Memberikan makan tanpa disuapin, duduk dikursi saat makan adalah pengalaman yang tak bisa saya lupakan karena kenyataannya, cara itu tidak saya lihat dan susah untuk diterapkan di Indonesia. Kenapa? Karena ada si mbak, tante, saudara, kakak, dll Dan saya pun sebagai anak pertama dari empat bersaudara, merasakan benar bagaimana harus lari sana sini menyuapi adik-adik saya saat mereka masih kecil dulu.
Beranjak besar dan masuk TK, suami sudah memberikan tugas untuk anak-anak dirumah, si sulung tugas untuk menyiram tanaman, dan sibungsu membantu melipat baju yang habis dijemur, dan tugas berdua yaitu kegiatan membereskan piring dan makan yang habis dipakai untuk ditaruh di dapur. Semuanya ini saya rasakan luar biasa karena saat seumuran mereka saya tidak melakukannya!!!
Sering saya dengar dari suami, dulu keluarganya termasuk yang kibishii (strict). Kibishii gimana, kata saya ingin tahu? Menurutnya, ia tidak bisa seenak udelnya minta dibelikan mainan Karena biasanya harus tunggu dulu timingnya, entah itu ulang tahun, nilai ujian bagus atau christmast day (ada budaya saat natal (anak-anak di Jepang mendapakan hadiah dari sinterklas, yg tentu saja orang tuanya yg kasih hehe).
Belum lagi saat saya SMA, saat itu ingin sekali ia punya gitar listrik, yang selama ini saya hanya bisa main dan pegang saja di toko. Kalau melihat harganya tidak mungkin ia beli, apalagi sampai minta ke orangtuanya!
Jalan lain yang harus dilakukan agar mimpinya jadi kenyataan adalah dengan kerja sebagai Arubaito, part timer! Bukan hal yang aneh lagi kalau anak-anak SMA di Jepang banyak yang melakukan arubaito ini. Arubaito jadi pelayan restoran, penjaga toko bahkan loper koran atau tukang pos keliling. Semuanya itu dilakukan asal tidak mengganggu pelajaran. Biasanya sih, sehabis pulang sekolah atau pas hari libur. Setelah kumpul uang hasil kerjanya, baru deh bisa ia (suami) membeli gitar idaman. Karena belinya pakek keringet sampe ke pantat-pantat katanya haha makanya gak heran deh saya lihat tuh gitar di eman-eman banget walopun tidak pernah dipakai lagi sekarang. Katanya sebagai kenangan gimana susahnya mencari uang saat itu.
Melihat dan mendengar langsung gimana mandiri dan tidak manjanya remajanya untuk mendapatkan keinginan yang ternyata tidak semudah membalik telapak tangan! Usaha itu membuat mereka tidak gampang untuk hanya menengadahkan tangan ke orangtua, walo berat kerjaannya namun itu dilakukan terus dengan penuh tanggung jawab. Saya yakin saat melakukan pekerjaan itu, banyak nilai yang bisa mereka petik, gimana saat melakukan kesalahan lalu dimarahi oleh pemilik toko, saat itulah hati kita menjadi dewasa, bersikap sabar dan timbul rasa untuk bekerja secara cermat dan sungguh-sungguh. Saat susah itulah sebenernya emosi dan pribadi kita ditempa. Sabar, tekun dan tanggung jawab dalam bekerja tanpa mengenal itu kata lelah, malu dan gengsi!
Berbicara tentang gengsi, kalau temen-temen main kesini, coba deh perhatiin saat masuk toko dan restoran, coba lihat itu banyak cewek-cewek muda dan enerjik bekerja di restoran sambil bawa bawa nampan yang penuh piring dan gelas kotor. Atau lihat cowok-cowok muda gagah perkasa yang angkat-angkat kerdus atau dorong-dorong troli sambil ngatur minuman dan makanan untuk ditaruh di rak-rak pada sebuah convinient store,...ah indah sekali pemandangan ini. Bekerja dengan satu tujuan, mencari uang dengan jalan yang benar. Walau masih muda tapi mau merasakan gimana susah payahnya mencari penghasilan walaupun saya yakin itu mungkin saja bukan buat nafkah hidup sehari harinya. Mereka sampai mau sampai ngesot-ngesot kerja ngucur-ngucur keringet, banting tulang, geret-geret gerobak atau angkat-angkat piring kotor untuk menghasilkan uang yang mungkin saja untuk membeli sesuatu yang mereka idamkan dan impi impikan. Kalau dipikir, lah itu saja mereka sampai jabanin apalagi uang itu buat biaya hidupnya? Saya yakin kesungguhan kerja mereka bisa 10 kali lipet dari yang sekarang ini.