Di tengah derasnya arus modernisasi dan makin berkembangnya ilmu pengetahuan, bertani tak lagi menjadi impian banyak pemuda. Semua tahu jika bertani merupakan salah satu gerakan sosial dalam membangun pondasi kehidupan. Di meja perkuliahan, bertani tampak amat mulia. Penuh makna dan nilai perjuangan, penjaga ketahanan pangan, dan sangat berjasa dalam menghidupi banyak orang. Tapi, hampir tak ada pemuda hari ini yang bermimpi ingin kembali ke desa, mengolah tanah leluhur, dan membawa perubahan melalui pertanian. Karena memang kenyataannya, jalan itu tak semulus jika dikerjakan di lapangan.
Di negeri yang tanahnya subur dan kaya akan sumber daya alam ini. Banyak pemuda yang enggan untuk bertani, karena realitas yang tak berpihak bagi diri. Dari biaya produksi yang sangat tinggi, hasil panen yang tak menentu di tengah kondisi iklim yang makin sulit ditebak, harga jual hasil panen yang tak masuk diakal, dan akses ke pasar yang rumit membuat bertani menjadi pekerjaan penuh risiko. Dengan risiko sebesar dan sebanyak itu, jelas tak ada yang benar-benar berani untuk bertaruh. Infrastruktur dan teknologi yang terbatas serta minimnya dukungan dari pemerintah menambah beban. Pemuda pun selalu dihadapkan pada dilema, antara idealisme untuk menjadi harapan pembangunan pertanian desa atau realitas hidup yang menuntut kestabilan ekonomi dan pengakuan sosial.
Ujungnya, banyak yang memilih meninggalkan cangkul dan ladang, dan berbondong-bondong mengejar impian di kota, meninggalkan sawah dan ladang yang dulu jadi sumber kehidupan keluarganya. Bertani jelas penting, tapi tak cukup menarik. Bukan karena pemuda malas, tapi karena sistem yang belum mendukung dan ramah. Apalagi jika telah menyelesaikan bangku perkuliahan, pandangan sosial terus menganggap bertani sebagai pekerjaan yang kurang bergengsi. Di tengah tekanan untuk sukses secara materi, bertani sering dipandang sebagai pilihan terakhir bahkan tak masuk ke dalam daftar pilihan. Tak banyak yang mau bertahan menghadapi cemooh: Kamu sekolah tinggi, tapi akhirnya cuma jadi petani?
Dilema menjadi petani di Indonesia tidak sekadar soal menanam dan memanen. Tapi, banyak tuntutan seperti ketahanan mental yang tinggi, fisik harus kuat, modal yang besar, dan kemampuan adaptasi tingkat tinggi. Jika dengan semua kondisi berat dalam bertani tak dimiliki, maka sudah dijamin tak ada yang berani. Bertani butuh modal besar, dari biaya pupuk yang tinggi, pestisida yang mahal, dan alsintan yang tak disubsidi. Pertaruhannya amat besar, seringkali berujung rugi. Tidak ada jaminan harga jual. Hasil panen diserahkan kepada tengkulak, bukannya petani yang untung, tapi malah sebaliknya. Sistem distribusi hasil pertanian yang tak berpihak pada petani. Pemerintah memiliki peran besar dalam menyelesaikan permasalahan kompleks ini.
Tak hanya perkara teknis di lapangan, tapi petani juga terhambat oleh masalah modal. Bantuan dari pemerintah bukannya memudahkan, tapi malah mempersulit petani. Banyak program bagus dibuat pemerintah, tapi penuh dengan prosedur yang rumit dan akhirnya tak semua bisa dijangkau petani, bahkan terkadang dimonopoli segelintir orang. Kebijakan yang dibuat banyak tidak tepat sasaran. Bahkan, sekedar formalitas belaka. Bantuan yang diberi terkadang tidak diimbangi dengan fasilitator yang mumpuni untuk mengajarkan inovasi bagi para petani. Akhirnya, banyak petani menyerah atau banting setir ke sektor lain. Tanah makin digerus untuk industri dan pemukiman.
Kondisi terkini, cuaca makin sulit diprediksi. Meningkatkan risiko rugi bagi petani. Inovasi dan teknologi dalam pertanian bisa jadi solusi. Tapi, dengan tak adanya pemuda yang beregenerasi menjadi petani, maka petani banyak berada pada golongan tua, belum tentu mendapat inovasi dan teknologi terkini. Pemuda tentu banyak membuat inovasi, tapi banyaknya tantangan dan risiko rugi yang tinggi menjadikan pemuda ragu untuk terlibat.
Jangan pernah meremehkan petani. Jika tak ada petani, sudah hancur negeri ini. Seharusnya petani menjadi pekerjaan yang dapat dibanggakan dengan sokongan besar dari pemerintah. Ini pekerjaan penuh perjuangan dan tantangan besar yang mampu menopang kehidupan bangsa. Sudah saatnya semua pihak memperjuangkan kehidupan dan kebijakan yang pro terhadap petani. Pasti pemuda tak takut menjadi petani, sehingga berbagai akses seperti inovasi dan teknologi dapat dimanfaatkan. Itulah salah satu cara menuju kemajuan pertanian negeri. Sehingga profesi pertanian bisa menjadi pilihan utama dan tak ada yang malu menjadi petani. Pemuda bertani bukan hanya tentang memproduksi pangan, tapi juga tentang merawat masa depan. Sebab, pertanian tak boleh menjadi realitas yang menakutkan. Ketika idealisme dan realitas mampu beriringan, maka bisa dipastikan kemajuan menunggu di depan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI