Era disrupsi, yang ditandai oleh kemajuan teknologi yang pesat seperti kecerdasan buatan (AI), otomatisasi, dan internet of things (IoT), telah mengubah lanskap pekerjaan secara fundamental. Model bisnis tradisional tergantikan oleh inovasi yang disruptif, dan pekerjaan yang dulunya stabil kini terancam oleh efisiensi mesin.Â
Bagi mahasiswa Angkatan 2022 ASMI Desanta, ini berarti bahwa mereka tidak hanya bersaing dengan sesama manusia, tetapi juga dengan algoritma cerdas dan robot yang mampu melakukan tugas-tugas repetitif dengan presisi tinggi. Fenomena "gig economy" juga semakin marak, menuntut individu untuk menjadi lebih mandiri, adaptif, dan memiliki beragam keterampilan agar tetap relevan.
 Tekanan untuk terus belajar dan beradaptasi menjadi sangat besar, memicu tingkat kecemasan, stres, dan bahkan sindrom imposter di kalangan mahasiswa yang merasa tidak cukup siap menghadapi dunia yang begitu dinamis. Mereka mungkin merasa bahwa apa yang mereka pelajari hari ini akan usang besok, menciptakan siklus kekhawatiran yang dapat menghambat potensi mereka.
Kesiapan mental menjadi aset yang tak ternilai di tengah badai perubahan ini. Ujian Pendadaran, dengan segala tekanannya, secara tidak langsung menguji ketahanan mental mahasiswa. Kemampuan untuk mengelola stres, tetap fokus di bawah tekanan, dan bangkit dari kegagalan adalah indikator penting dari ketangguhan psikologis. Dalam konteks ini, konsep resiliensi (kemampuan untuk pulih dengan cepat dari kesulitan) menjadi sangat relevan.Â
Dr. Angela Duckworth, seorang profesor psikologi di University of Pennsylvania, dalam bukunya yang berpengaruh "Grit: The Power of Passion and Perseverance" (2016), berpendapat bahwa "Grit adalah gairah dan ketekunan untuk mencapai tujuan jangka panjang. Grit adalah memiliki daya tahan. Grit adalah bertahan dengan masa depan Anda, hari demi hari, bukan hanya untuk seminggu, bukan hanya untuk sebulan, tetapi selama bertahun-tahun" (Duckworth, 2016).Â
Kutipan Duckworth ini menggarisbawahi bahwa kesuksesan di era disrupsi bukan hanya tentang kecerdasan intelektual, tetapi juga tentang kegigihan dan ketekunan dalam menghadapi rintangan. Mahasiswa ASMI Desanta yang akan menghadapi Ujian Pendadaran perlu memahami bahwa proses ini adalah bagian dari penempaan grit mereka, sebuah simulasi kecil dari tantangan yang lebih besar yang akan mereka hadapi di dunia kerja.
Lebih lanjut, dampak psikologis dari era disrupsi tidak bisa diremehkan. Mahasiswa seringkali merasa terbebani oleh ekspektasi yang tinggi, baik dari diri sendiri, keluarga, maupun masyarakat. Media sosial yang membanjiri mereka dengan gambaran kesuksesan orang lain dapat memperparah perasaan tidak aman dan memicu perbandingan sosial yang tidak sehat. Lingkungan yang serba cepat dan tuntutan untuk selalu "on" juga berkontribusi pada kelelahan mental.Â
Oleh karena itu, penting bagi ASMI Desanta untuk tidak hanya fokus pada aspek akademis, tetapi juga pada pengembangan kesejahteraan mental mahasiswanya. Program-program dukungan psikologis, pelatihan manajemen stres, dan promosi gaya hidup seimbang dapat membantu mahasiswa membangun fondasi mental yang kuat. Ujian Pendadaran, dengan demikian, bukan hanya menguji pengetahuan, tetapi juga kemampuan mahasiswa untuk menjaga ketenangan, berpikir jernih, dan menampilkan yang terbaik dari diri mereka bahkan di bawah tekanan yang intens. Ini adalah kesempatan bagi mereka untuk membuktikan bahwa mereka memiliki tidak hanya otak yang cerdas, tetapi juga hati yang tangguh dan jiwa yang berani.
Relevansi Kurikulum ASMI Desanta dan Kebutuhan Industri
Dalam menghadapi dinamika pasar kerja yang terus berubah, relevansi kurikulum pendidikan tinggi menjadi sangat krusial. ASMI Desanta, sebagai institusi pendidikan yang berfokus pada pengembangan sumber daya manusia di bidang manajemen dan administrasi, memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan bahwa lulusannya tidak hanya memiliki pengetahuan teoritis yang memadai, tetapi juga keterampilan praktis yang sesuai dengan kebutuhan industri.Â
Kurikulum yang adaptif dan responsif terhadap perubahan adalah kunci untuk menjembatani kesenjangan antara dunia akademis dan dunia kerja. Ini berarti tidak hanya mengajarkan apa yang sudah ada, tetapi juga mempersiapkan mahasiswa untuk apa yang akan datang, membekali mereka dengan kemampuan untuk belajar secara mandiri, memecahkan masalah kompleks, dan berinovasi. Pertanyaan besar yang muncul adalah seberapa jauh kurikulum ASMI Desanta telah berhasil mengintegrasikan aspek-aspek ini, dan bagaimana Ujian Pendadaran dapat menjadi tolok ukur efektivitasnya.