Mohon tunggu...
Wedy Prahoro
Wedy Prahoro Mohon Tunggu... Akademisi

Pendidikan hadir untuk memberikan Kehidupan, Makna, dan Kemuliaan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Merajut Kembali Profesionalisme Dosen: Era Baru Sertifikasi Pendidik untuk Memicu Inovasi Tridarma

11 Juni 2025   22:15 Diperbarui: 11 Juni 2025   21:25 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Koleksi ASMI Desanta

Dunia pendidikan tinggi adalah denyut nadi kemajuan suatu bangsa. Di dalamnya, dosen memegang peranan sentral sebagai lokomotif intelektual yang tidak hanya mentransfer ilmu, tetapi juga membentuk karakter dan memantik api inovasi. Tanggung jawab ini tidaklah ringan; ia menuntut profesionalisme yang tinggi, integritas akademik, dan dedikasi yang tak tergoyahkan terhadap Tridharma Perguruan Tinggi: pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Selama ini, upaya untuk memastikan kualitas dosen telah diwujudkan melalui berbagai mekanisme, salah satunya adalah sertifikasi pendidik. Namun, perjalanan panjang sertifikasi dosen acap kali diwarnai oleh tantangan birokratis dan persyaratan yang terasa memberatkan, kadang mengalihkan fokus dari esensi kualitas ke pemenuhan administrasi semata.

Pengakuan formal atas kompetensi dosen melalui sertifikasi pendidik bukan sekadar pelengkap administratif, melainkan sebuah instrumen strategis untuk menjamin standar kualitas dan mendorong pengembangan profesional berkelanjutan. Sistem sertifikasi yang efektif semestinya menjadi katalisator bagi dosen untuk terus berinovasi, meningkatkan kapasitas pedagogis, memperdalam keahlian di bidang penelitian, dan mengoptimalkan dampak pengabdian. Sayangnya, regulasi sebelumnya seringkali terjebak dalam labirin persyaratan yang kaku, seperti uji kemampuan dasar dan jenjang kepangkatan, yang meskipun bertujuan baik, namun terkadang kurang mencerminkan secara holistik performa dosen di lapangan. Hal ini dapat menimbulkan persepsi bahwa sertifikasi adalah rintangan yang harus dilalui, bukan sebuah perjalanan reflektif untuk mengukur dan meningkatkan profesionalisme.

Dalam konteks inilah, Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) Nomor: 53/B/KPT/2025 tentang Petunjuk Teknis Sertifikasi Pendidik untuk Dosen hadir sebagai angin segar. Keputusan ini menandai sebuah era baru yang lebih adaptif, relevan, dan berorientasi pada kinerja nyata dosen. Dengan adanya regulasi baru ini, pemerintah melalui Kemendikbudristek menunjukkan komitmennya untuk menyederhanakan proses, menghilangkan hambatan yang tidak perlu, dan mengembalikan fokus pada esensi Tridharma. Harapannya, perubahan ini tidak hanya mempermudah dosen dalam mendapatkan pengakuan, tetapi juga secara fundamental mendorong mereka untuk mengemban tugas dan fungsi dengan tanggung jawab yang lebih besar, mengedepankan pemikiran ilmiah, dan secara terstruktur menciptakan ekosistem pembelajaran yang inovatif, penelitian yang relevan, dan pengabdian yang berdampak.

Memahami Esensi Perubahan: Sebuah Lompatan Progresif

Keputusan Dirjen Dikti Nomor 53/B/KPT/2025 bukanlah sekadar revisi minor; ia adalah sebuah lompatan progresif dalam tata kelola sertifikasi pendidik bagi dosen. Esensi perubahan yang dibawa oleh keputusan ini terletak pada tiga pilar utama: penyederhanaan persyaratan, penekanan pada kinerja nyata, dan perluasan akses. Pemahaman mendalam terhadap pilar-pilar ini akan membuka wawasan kita tentang bagaimana kebijakan ini dirancang untuk lebih mendukung dosen dalam mengoptimalkan peran dan kontribusinya.

Penyederhanaan persyaratan menjadi kunci utama dari kebijakan baru ini. Bayangkan saja, dua "momok" yang seringkali menghantui dosen dalam proses sertifikasi, yaitu Tes Kemampuan Dasar Akademik (TKDA) dan Tes Kemampuan Berbahasa Inggris (TKBI) dengan nilai ambang batasnya, kini resmi dihapuskan sebagai syarat wajib kelulusan. Ini adalah sebuah gebrakan. Sebelumnya, tidak sedikit dosen yang harus berjibaku, bahkan mengulang tes berkali-kali, hanya untuk memenuhi ambang batas tersebut. Waktu dan energi yang seharusnya bisa dialokasikan untuk penelitian atau pengabdian, justru tersita untuk persiapan tes. Penghapusan ini bukan berarti menafikan pentingnya kemampuan dasar dan bahasa Inggris, melainkan menggeser fokus penilaian ke instrumen lain yang lebih komprehensif dan relevan dengan kinerja nyata. Selain itu, syarat pangkat/golongan ruang yang sebelumnya menjadi prasyarat, kini juga ditiadakan. Ini berarti dosen dengan jabatan akademik Asisten Ahli (AA) sekalipun, yang seringkali merupakan dosen-dosen muda dengan semangat menggebu, sudah dapat segera mengikuti proses sertifikasi tanpa menunggu jenjang kepangkatan tertentu.

Pilar kedua adalah penekanan kuat pada kinerja nyata dosen. Alih-alih bertumpu pada hasil tes standar, keputusan ini menggeser fokus penilaian ke portofolio yang lebih holistik dan representatif. Unjuk Kerja Tridharma Perguruan Tinggi (PDD-UKPT) menjadi jantung dari penilaian ini. Di sinilah dosen diberi ruang untuk secara komprehensif memaparkan kontribusinya dalam pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Ini adalah kesempatan emas bagi dosen untuk tidak hanya "menuliskan" pekerjaannya, tetapi juga "merefleksikan" dampak dari setiap aktivitas Tridharma yang telah dilakukan. Publikasi ilmiah, sebagai indikator penting dari produktivitas penelitian, juga akan dinilai secara lebih mendalam. Selain itu, penilaian persepsional dari atasan, sejawat, mahasiswa, dan diri sendiri menjadi komponen krusial yang mengukur kompetensi pedagogik, profesional, sosial, dan kepribadian dosen dari berbagai sudut pandang. Pendekatan portofolio ini lebih mampu menangkap keragaman kontribusi dosen, dari pengajaran inovatif di kelas, riset yang menghasilkan paten, hingga program pengabdian yang mengubah kehidupan masyarakat.

Terakhir, keputusan ini juga membawa dampak positif pada perluasan akses sertifikasi. Dengan persyaratan yang lebih sederhana dan fokus pada kinerja nyata, diharapkan lebih banyak dosen, termasuk yang berada di daerah terpencil atau institusi dengan sumber daya terbatas, dapat memenuhi syarat dan berkesempatan mengikuti sertifikasi. Ini adalah langkah konkret menuju pemerataan kualitas dosen di seluruh penjuru negeri. Selain itu, keputusan ini juga menetapkan kriteria dosen eligible yang lebih fleksibel, seperti masa kerja minimal 2 tahun berturut-turut sebagai dosen dan pemenuhan Laporan Kinerja Dosen (LKD)/Beban Kerja Dosen (BKD) yang valid. Bahkan, dosen yang sedang tugas belajar pun kini dapat diikutsertakan dengan syarat telah melaporkan kemajuan tugas belajar dalam sistem SISTER BKD. Perluasan ini bukan sekadar menambah kuota, melainkan membangun fondasi yang lebih inklusif bagi pengembangan profesional dosen, memastikan bahwa kesempatan untuk meraih pengakuan tidak lagi menjadi hak eksklusif segelintir orang, melainkan dapat diakses oleh lebih banyak insan akademik yang berdedikasi.

Perbandingan Kritis: Jembatan Menuju Masa Depan

Untuk memahami secara utuh signifikansi Keputusan Dirjen Dikti Nomor 53/B/KPT/2025, penting untuk melakukan perbandingan kritis dengan regulasi sebelumnya, khususnya Keputusan Dirjen Diktiristek Nomor 101/E/KPT/2022. Perbandingan ini akan menyoroti secara jelas filosofi yang berbeda dan bagaimana perubahan ini dirancang untuk mengatasi hambatan-hambatan masa lalu, sekaligus membuka jalan menuju masa depan pendidikan tinggi yang lebih dinamis dan responsif. Perubahan ini bukan sekadar tentang prosedur, melainkan tentang pergeseran paradigma dalam menilai dan mengembangkan profesionalisme dosen.

Pada regulasi sebelumnya, proses sertifikasi dosen seringkali terkesan formalistik dan berorientasi pada pemenuhan syarat administratif yang kaku. Contoh paling nyata adalah keberadaan nilai ambang batas wajib untuk Tes Kemampuan Dasar Akademik (TKDA) dan Tes Kemampuan Berbahasa Inggris (TKBI). Meskipun kedua tes ini memiliki tujuan mulia untuk mengukur kompetensi dasar, penerapannya sebagai "syarat mati" seringkali menimbulkan frustrasi di kalangan dosen. Dosen dengan rekam jejak pengajaran dan penelitian yang luar biasa, bahkan dengan publikasi internasional yang cemerlang, bisa saja terganjal hanya karena belum mencapai skor minimal pada salah satu tes tersebut. Ini menciptakan sebuah dilema, di mana fokus dosen kadang terpecah antara mengoptimalkan Tridharma di lapangan dan mengejar skor tes. Regulasi sebelumnya juga mensyaratkan pangkat/golongan ruang tertentu, yang secara tidak langsung memperlambat akses dosen-dosen muda atau dosen non-ASN yang mungkin belum memiliki jalur kepangkatan yang cepat untuk mengikuti sertifikasi. Mekanisme ini, meskipun bertujuan untuk memastikan kematangan profesional, seringkali menciptakan antrean panjang dan menunda pengakuan bagi talenta-talenta baru.

Berbanding terbalik, Keputusan Dirjen Dikti Nomor 53/B/KPT/2025 dengan tegas menghapus kedua syarat wajib (TKDA dan TKBI) serta persyaratan pangkat/golongan ruang. Ini adalah perubahan paradigma yang mendasar. Penghapusan ini bukan berarti meremehkan pentingnya kemampuan dasar atau penguasaan bahasa asing, tetapi lebih pada pengakuan bahwa kompetensi tersebut dapat dinilai melalui indikator yang lebih komprehensif dan relevan dengan kinerja sehari-hari dosen. Fokus penilaian kini beralih sepenuhnya ke portofolio nyata, terutama melalui Unjuk Kerja Tridharma Perguruan Tinggi (PDD-UKPT) dan publikasi ilmiah. Pendekatan ini memungkinkan asesor untuk mengevaluasi secara holistik kontribusi dosen dalam pengajaran inovatif, penelitian yang berdampak, dan pengabdian yang relevan. Dengan demikian, dosen didorong untuk fokus pada peningkatan kualitas Tridharma mereka, bukan sekadar memenuhi syarat tes. Selain itu, dengan diizinkannya dosen dengan jabatan Asisten Ahli (AA) untuk mengikuti serdos, gerbang akses terbuka lebih lebar bagi dosen-dosen muda yang berpotensi, mempercepat proses pengakuan profesionalisme mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun