Mohon tunggu...
Wedy Prahoro
Wedy Prahoro Mohon Tunggu... Akademisi

Pendidikan hadir untuk memberikan Kehidupan, Makna, dan Kemuliaan.

Selanjutnya

Tutup

Parenting

Mendidik Anak Digital: Iman, Mental Tangguh, dan Adat Luhur

8 Juni 2025   11:11 Diperbarui: 8 Juni 2025   10:46 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar Koleksi Pribadi

Kita kini hidup di tengah pusaran revolusi digital yang tak terhindarkan. Dunia yang dulu terasa luas dan terpisah oleh batas geografis, kini menyusut menjadi sebuah "desa global" yang ada dalam genggaman, hanya dengan sentuhan gawai. Perangkat pintar ini bukan lagi sekadar alat komunikasi, melainkan gerbang raksasa menuju samudra informasi dan interaksi tanpa batas. Anak-anak kita, yang lahir di tengah gelombang perubahan ini, adalah 'penduduk asli' dunia digital. Mereka akrab dengan layar sentuh bahkan sebelum mampu merangkai kata, menjelajahi aplikasi dan platform online dengan insting alami yang kerap membuat kita, generasi pendahulu, terheran-heran. 

Di satu sisi, kemajuan ini adalah anugerah tak ternilai. Anak-anak memiliki akses tak terbatas ke perpustakaan dunia, galeri seni termasyhur, museum virtual, dan bahkan bisa belajar langsung dari guru-guru terbaik di seluruh dunia, kapan pun dan di mana pun. Mereka dapat mengembangkan minat dan bakat secara mandiri, berinterkolaborasi lintas negara, dan mendapatkan wawasan yang tak pernah terpikirkan di era sebelumnya. Potensi untuk tumbuh menjadi individu yang cerdas, inovatif, dan berwawasan global terbuka lebar di hadapan mereka.

Namun, di balik gemerlap kemudahan dan potensi yang menjanjikan itu, tersembunyi pula sisi gelap yang mengkhawatirkan, bahkan mengancam. Gelombang digital yang begitu masif ini ibarat pedang bermata dua, membawa serta tantangan serius yang perlu kita hadapi dengan kesadaran penuh. Resah rasanya hati kita para orang tua, saat menyaksikan anak-anak tenggelam dalam game online hingga larut malam, melupakan waktu belajar, waktu makan, bahkan interaksi sosial di dunia nyata. 

Kisah-kisah remaja yang terlilit utang demi membeli item virtual dalam game, atau anak-anak yang menjadi apatis terhadap lingkungan sekitar karena sibuk dengan layar gawai mereka, bukanlah fiksi, melainkan realitas yang kian sering kita dengar. Lebih mengerikan lagi, kemudahan akses internet juga membuka pintu bagi konten negatif yang merusak, seperti pornografi, kekerasan, atau ideologi radikal. 

Tanpa filter dan pendampingan yang memadai, tontonan semacam ini dapat merusak moral anak, membentuk cara pandang yang keliru tentang hubungan, seksualitas, dan nilai-nilai kehidupan. Tidak jarang, akar kenakalan remaja, perilaku agresif, atau bahkan gangguan mental berawal dari paparan konten-konten berbahaya ini.

Fenomena bullying yang bergeser ke ranah maya, atau dikenal dengan cyberbullying, juga menjadi momok yang tak kalah menakutkan. Seorang anak mungkin pulang dari sekolah dengan senyum di wajahnya, namun di balik layar gawai, ia menjadi korban cacian tak henti di grup chat, atau fotonya disebar dengan narasi yang merendahkan dan fitnah. Dampaknya bisa sangat dalam, melukai hati, merusak harga diri, hingga memicu depresi, kecemasan, bahkan pikiran untuk bunuh diri. Ironisnya, tak sedikit pula anak-anak yang tanpa sadar menjadi pelaku cyberbullying, melontarkan komentar jahat atau menyebarkan hoaks, tanpa pernah menyadari betapa parahnya luka yang mereka torehkan pada orang lain. 

Semua ini adalah peringatan keras bagi kita semua, para orang tua, pendidik, dan masyarakat luas. Mendidik anak di tengah gelombang digital ini bukan lagi sekadar tugas rutin, melainkan sebuah amanah peradaban yang sangat fundamental untuk menjaga dan membentuk masa depan generasi. Dulu, kekhawatiran kita sebagai orang tua mungkin sebatas pada pergaulan anak di lingkungan fisik: siapa teman-teman bermainnya di kompleks rumah, atau bagaimana karakter guru di sekolah. Kini, cakupan kekhawatiran itu meluas tak terbatas. 

Kita harus memahami siapa "teman-teman" mereka di dunia maya, apa yang mereka lihat, siapa yang mereka ikuti, dan bagaimana mereka berinteraksi di ruang digital yang nyaris tanpa batas ini. Memberi anak akses digital tanpa panduan dan batasan yang jelas, sama saja membiarkan kapal berlayar tanpa nahkoda, tanpa peta, dan tanpa kompas di tengah lautan badai yang tak terduga.

Maka, pertanyaan besarnya adalah: Bagaimana caranya kita membimbing anak-anak agar bisa berlayar dengan selamat di samudra digital yang luas ini, tanpa tersesat atau tenggelam dalam hal-hal negatif? Bagaimana kita pastikan mereka tidak hanya cerdas dalam teknologi, tetapi juga kokoh imannya, mulia akhlaknya, dan kuat mentalnya? Bagaimana kita menciptakan generasi yang mampu memanfaatkan teknologi untuk kebaikan, sekaligus terlindungi dari segala mudaratnya?

Tulisan ini hadir sebagai pemandu, sebuah kompas yang diharapkan dapat menuntun para orang tua. Kita akan memadukan tiga pilar utama yang saling melengkapi: ajaran Islam sebagai fondasi spiritual yang kokoh, ilmu psikologi yang membantu kita memahami kompleksitas hati dan pikiran anak, serta kearifan budaya Jawa yang kaya akan nilai-nilai luhur dan adab yang relevan. Harapannya, melalui panduan ini, kita bisa menjadi sahabat dan pendamping terpercaya bagi anak-anak, menciptakan lingkungan yang seimbang antara kemajuan teknologi dan perkembangan batin mereka. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun