Mohon tunggu...
Max Webe
Max Webe Mohon Tunggu... Penulis - yesterday afternoon writer, working for my country, a reader, any views of my kompasiana are personal

"There is so much weariness and disappointment in travel that people have to open up – in railway trains, over a fire, on the decks of steamers, and in the palm courts of hotels on a rainy day. They have to pass the time somehow, and they can pass it only with themselves. Like the characters in Chekhov they have no reserves – you learn the most intimate secrets. You get an impression of a world peopled by eccentrics, of odd professions, almost incredible stupidities, and, to balance them, amazing endurances." — Graham Greene, The Lawless Roads (1939)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Suluk Gunung Jati: Novel Ruhani Syarif Hidayatullah

25 September 2016   19:34 Diperbarui: 4 April 2017   17:37 1057
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel sejarah dan sejarah sama-sama buku rujukan karya sastra. Kuntowijoyo, dalam bukunya ‘Budaya dan Masyarakat’ mengungkapkan karya sastra bagaikan simbol verbal yang memiliki tiga kunci utama, yaitu sebagai cara pemahaman (mode  of comprehension), cara perhubungan (mode of communication), dan cara penciptaan (mode of creation).  Sebuah karya sastra ketika peristiwa sejarah sebagai bahan rujukan, maka ketiga kunci tersebut menjadi satu yang mempunyai perbedaan pada kualitas campur tangan dan motivasi penulisnya.

 Kita bersyukur bulan September 2016 lahir karya E. Rokajat Asura, khususnya warga masyarakat Cirebon, yang kaya akan sejarah leluhurnya. Sudah banyak memang novel-novel yang berlatar sejarah nusantara belakangan ini cukup ramai menghiasi rak-rak toko buku, dengan berbagai jenis konsekuensi psiko-sosialnya. Namun tidak berlebihan rasanya jika diungkapkan bahwa dari sisi kematangan penguasaan bahan, kedalaman visi kesejarahan, erudisi, dan olah-strukturnya, “Suluk Gunung Jati” merupakan kekuatan sebuah novel bukanlah hanya pada ide atau "pesan".

Kekuatan sebuah novel, seperti diperlihatkan “Suluk Gunung Jati”, ada pada bagusnya bertutur, E. Rokajat Asura mampu menjadikan peristiwa sejarah sebagai obyeknya. Novel “Suluk Gunung Jati” cakap menerjemahkan peristiwa sejarah dalam bahasa imaginer dengan maksud untuk memahami peristiwa riwayat hidup Sunan Gunung Jati.

E. Rokajat Asura juga lincah menyampaikan pikiran, perasaan dan tanggapannya mengenai suatu peristiwa sejarah. Bahkan, penulis novel ini, terampil menciptakan kembali sebuah peristiwa sejarah sesuai dengan pengetahuan dan daya imaginasinya.  Dari sisi tidak semata-mata pertentangan teologis yang paling ditabukan, tetapi juga pembelajaran hidup di tanahairnya sendiri.

 “Wahai Syaikh Lemah Abang. Anda dipanggil Kanjeng Sunan!” “Tidak ada Syaikh Lemah Abang di sini, adanya Gusti Allah.”Sambil tersenyum. Sunan Gunung Jati memerintahkan agar Gusti Allah datang. Syaikh Siti Jenar atau Syaikh Lemah Abang pun akhirnya datang menemui Sunan Gunung Jati di Masjid Agung Sang Cipta Rasa.” (halaman 256).

“Raden Ketib mengangguk, Ia teringat ajaran Kanjeng Sunan Gunung Jati, kula nitip tajug lan fakir miskin. Pepatah itu mengandung arti bahwa kaum muslim harus memiliki pengetahuan agama dan dunia agar tidak menjadi miskin. Tanpa pendidikan dan ilmu yang memadai, mereka akan mudah diombang-ambing dan dipengaruhi orang lain. 

Ia melihat buktinya pada kasus Hasan Ali yang mendirikan Pondok Lemah Abang tandingan. Banyak orang yang terpengaruh. Andai saja mereka telah mengenyam pendidikan yang lebih baik, tentu mereka bisa segera mengetahui bahwa kelakukan Hasan Ali hanya untuk memperburuk citra Syaikh Lemah Abang. Jalan itu ditempuh dilatari dendam kepada Sunan Gunung Jati (halaman 267).

Kedua kutipan tersebut, novel ini sangat bagus untuk dipahami dan dimaknai, ada berbagai hal yang bisa pembaca maknai dan membuka wawasan berpikir pembaca. Ini bukan sekedar novel sejarah biasa namun novel ini memudarkan yang abstrak dan yang bayan dengan cara cerdas. “Suluk Gunung Jati” merupakan “perjuangan melawan lupa” akan akar sejarah Cirebon sebagai Kota Wali yang tak kunjung bangun.  Masih banyak hal-hal menarik yang dapat kita baca sepanjang novelisasi fatwa Sunan Gunung Jati ini, yang pada tiap babnya, selalu didahului, dengan kutipan ajaran-ajarannya.

Terlepas dari hal itu saya rasa novel sejarah ini akan semakin gemuk dan mengenyangkan pembacanya, jika menyertakan lampiran naskah-naskah kuno Babad Tanah Sunda dan Babad Cirebon, yang mungkin sudah mulai enggan membaca buku sejarah.  Namun karya E. Rokajat Asura ini patut dihargai setinggi-setingginya karena bagaimanapun novel ini mengungkap sepenggal peristiwa sejarah yang mungkin sudah terabaikan dan hanya ditemui dalam buku-buku teks sejarah kedalam sebuah novel yang memancing dan mempunyai tingkat keterbacaan yang tinggi.

Judul : Suluk Gunung Jati

Penulis :  Enang Rokajat Asura

Penerbit : Penerbit Imania

Cetakan : I, September 2016

 Tebal : 319 hlm

ISBN : 978-602-7926-26-4              

Tulisan ini dimuat Radar Cirebon, 24 September 2016

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun