Mohon tunggu...
Max Webe
Max Webe Mohon Tunggu... Penulis - yesterday afternoon writer, working for my country, a reader, any views of my kompasiana are personal

"There is so much weariness and disappointment in travel that people have to open up – in railway trains, over a fire, on the decks of steamers, and in the palm courts of hotels on a rainy day. They have to pass the time somehow, and they can pass it only with themselves. Like the characters in Chekhov they have no reserves – you learn the most intimate secrets. You get an impression of a world peopled by eccentrics, of odd professions, almost incredible stupidities, and, to balance them, amazing endurances." — Graham Greene, The Lawless Roads (1939)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Soal Penggusuran atau Penertiban, Quo Vadis Warga Ibukota Indonesia?

17 Februari 2016   20:25 Diperbarui: 17 Februari 2016   20:54 489
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 [caption caption="Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama saat menyampaikan sambutan dalam acara Lari5Jakarta, di Balai Kota, Sabtu (13/2) Sumber foto: Kompas.com"][/caption]

 

Membaca topik pilihan Kalijodo Ditertibkan ini, saya sempat terpikir, siapa yang ditertibkan? Kawasan prostitusi dan perjudian--yang tanahnya ternyata milik negara-- atau kawasan pemukiman yang sudah berkembang sebab 'keramaian' disana--yang tanahnya bernama "Surat Pernyataan Riwayat Kepemilikan Bangunan Rumah di Atas Tanah Negara" diklaim warga sebagai tanah garap? Keduanya memiliki potensi konflik sosial dan sengketa lahan. Pemprov DKI Jakarta melalui Gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok bersikeras gunakan payung hukum Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960.

Disisi lain, warga Kalijodo, dimata hukum, tanah negara adalah tanah yang dikuasai negara, bukan tanah milik negara. Hal itu berdasarkan UUD 1945 Pasal 33. Sampai di titik ini, saya mengutip tulisan Andre Vltchek dalam tulisannya berjudul Take a Train in Jakarta, "Jakarta, sebagai ibu kota negara yang oleh media Barat diberi predikat ‘demokratis’, ‘toleran’ dan ‘perekonomian terbesar di Asia Tenggara’ sebenarnya adalah tempat dimana mayoritas penduduknya tidak memiliki kendali atas masa depan mereka sendiri." Mengapa?

Laporan Penggusuran Paksa di Wilayah DKI Jakarta, selama kurun waktu Januari hingga Agustus 2015, yang dikeluarkan Lembaga Bantuan Hukum Jakarta mencatat 30 kasus dengan jumlah 3433 Kepala Keluarga dan 433 unit usaha terdampak, dan disebutkan dalam laporan tersebut mulai dari meniru skema keberhasilan Bangkok dalam melakukan penataan melalui fungsi Community Organizations Development Institute (CODI), mengembangkan perumahan swadaya, merumahkan kembali, pembuatan solusi alternatif secara mandiri oleh komunitas, hingga collaborative governance dalam mengatasi permasalahan perumahan.

Namun tawaran solusi dan larangan untuk melakukan penggusuran paksa ternyata tidak dihormati oleh pemerintah, terutama Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Jakarta masih diwarnai oleh penggusuran paksa. Sehingga, tren penggusuran akan semakin meningkat sebab watak dan cara kerja Pemprov DKI Jakarta tidak berubah. 

Mantan Bupati Belitung Timur, kini Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama di Balai Kota, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta,(17/2) menegaskan bahwa apa yang dilakukannya adalah penertiban bukan penggusuran. "Saya sebetulnya kalimatnya bukan penggusuran. Kalau penggusuran itu kalau aset kamu saya gusur. Ini bukan penggusuran, ini penertiban," ucap Ahok. Gaya memimpin dan berbicara Basuki seperti itulah hampir setiap hari menghiasi media massa. Tentunya, Ahok masih ingat upayanya melakukan penggusuran rumah padat penduduk di Kampung Pulo, Jatinegara, Jakarta Timur. Penertiban?

Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok jangan abai, apapun istilah penggusuran atau penertiban. Bagaimana warga ibukota tersebut mempertahankan hidup setelah mendapatkan hunian baru? Bagaimana mereka membayar rusunawa setelah masa fasilitas gratis habis? Apakah setelah penggusuran, ibukota bebas dari banjir? 

Bukankah, data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) tanggal 14 Februari lalu, mencatat wilayah ibukota negara, DKI Jakarta memiliki 17 titik genangan  Dalam rilis tersebut, genangan-genangan yang timbul disebabkan oleh drainase perkotaan yang tidak mampu menampung limpasan permukaan sehingga menggenangi jalan. Kapasitas drainase lebih kecil daripada aliran permukaan dari hujan. 

Sebelumnya, saat menjabat sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, menilai penyebab banjir di Jakarta karena tidak ada lagi kawasan resapan air. Kawasan tersebut kini sudah dibangun menjadi perumahan mewah dan mal. "Jelas kelihatan kok jalur hijau jadi hotel, mal dan perumahan elite. Banyak yang menyimpang jalur hijau," jelas Ahok. Apakah Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok juga memperlakukan hal yang sama, penertiban atau penggusuran atas kawasan-kawasan tersebut?

Atau, apakah setelah penertiban, ibukota bebas dari prostitusi dan perjudian? Menarik, sejarawan Asep Kambali, "Jalan Pramuka dan Jalan Pemuda adalah jalan yang dibangun dari uang pelacuran dan judi." Adapun Kalijodo ditertibkan, "Soal Kalijodo bukan soal prostitusinya. Kalau Kalijodo bukan di jalur hijau, kalau bisa saya resmiin ya saya resmiin, asal sesuai Perda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun