Mohon tunggu...
Max Webe
Max Webe Mohon Tunggu... Penulis - yesterday afternoon writer, working for my country, a reader, any views of my kompasiana are personal

"There is so much weariness and disappointment in travel that people have to open up – in railway trains, over a fire, on the decks of steamers, and in the palm courts of hotels on a rainy day. They have to pass the time somehow, and they can pass it only with themselves. Like the characters in Chekhov they have no reserves – you learn the most intimate secrets. You get an impression of a world peopled by eccentrics, of odd professions, almost incredible stupidities, and, to balance them, amazing endurances." — Graham Greene, The Lawless Roads (1939)

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Serangan Molotov Samarinda Pasca Sarlito Wirawan Tutup Usia

16 November 2016   00:02 Diperbarui: 18 November 2016   21:35 1100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kepala Polri Jenderal Pol Tito Karnavian mengungkapkan di rumah duka, Kompleks Dosen UI, Ciputat, Tangerang Selatan, Selasa (15/11), bahwa sosok Polri kehilangan sosok pemikirnya, Profesor Sarlito Wirawan Sarwono. Salah satu pemikiran yang sangat penting menurut Tito adalah program deradikalisasi narapidana perkara terorisme. "Beliau jadi salah satu inisiator program deradikalisasi," ujar Tito.

Bahkan, sebelum meninggal, Guru Besar Fakultas Ilmu Psikologi Universitas Indonesia (UI) Prof Sarlito Wirawan Sarwono sempat diminta oleh Bareskrim Mabes Polri untuk menjadi saksi ahli dalam kasus dugaan penistaan agama oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. 

Terhitung, sejak peristiwa 9/11 istilah radikalisasi agama dianggap sebagai penyebab menjamurnya terorisme. Mengapa 9/11? Hal ini untuk menegaskan bahwa 9/11 terlepas dari siapapun dalang di belakangnya adalah faktor eksternal utama yang menyebabkan terjadinya radikalisme agama.

Sebagai polisi yang berpengalaman menangani aksi-aksi terorisme, Tito Karnavian tentu sangat mafhum bahwa upaya program deradikalisasi di kalangan pelaku terorisme sejauh ini masih menghadapi tantangan serius. Ini setidaknya bisa dilihat dari fakta yang terungkap setelah pria berusia 32 tahun itu ditangkap massa dan dihajar sampai babak belur karena melempar bom molotov pada Minggu (13/11) pagi, di pelataran Gereja Oikumene, Samarinda, Kalimantan Timur.

Pria itu mengenakan kaus hitam bertulisan "Jihad Way of Life". Ia bernama Juhanda alias Jo bin Muhammad Aceng Kurnia yang pernah dipenjara selama tiga setengah tahun pada 2011 karena terbukti ikut merakit roket kelompok Pepi Fernando di Aceh. Ia bebas bersyarat pada 2014 setelah mendapat remisi Idul Fitri.

Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengakui bahwa program deradikalisasi yang berjalan selama ini perlu dievaluasi. "Ya, saya kira program deradikalisasi kita perlu dievaluasi," kata Tito kepada wartawan, Senin (14/11). 

Itu satu persoalan. Persoalan yang jauh lebih penting, sebagaimana pertanyaan sebagian publik adalah mengapa dalam penjara proses radikalisasi justru berlangsung? Mengapa program deradikalisasi terhadap para tersangka maupun terpidana teroris belum berhasil menghentikan penyebaran ideologi radikal mereka? 

Beberapa bulan lalu, dalam diskusi terbatas mengenai kajian penyusunan buku 'Fikih Tentang Terorisme,' di Jakarta, Kamis (25/2). Profesor Sarlito Wirawan Sarwono mengungkapkan proses melawan radikalisasi atau kontra-radikalisasi sulit dilakukan. Salah satu penyebabnya adalah keengganan pemerintah terlibat dalam isu terorisme yang dianggap sensitif.

Upaya deradikalisasi menurut Profesor Sarlito Wirawan Sarwono harus dilakukan oleh sistem, termasuk negara. Lembaga pemasyarakatan (lapas) salah satunya harus lebih memahami cara memberlakukan eks pelaku teror. Padahal kebanyakan yang terlibat terorisme banyak yang masih bisa dihapuskan pandangan radikalnya. 

Dalam catatan akun facebooknya, Profesor Sarlito Wirawan Sarwono berkisah, "Sejak tahun 2009 saya dan teman-teman di UI melakukan penelitian untuk mengubah mindset mantan-mantan teroris, kombatan dan/atau radikalis (ex pelaku bom Bali, Ambon, Poso dll) dari yang penuh kebencian, kemarahan dan kekerasan, menjadi kelembutan, kedamaian dan kasih sayang, sebagaimana diajarkan oleh Islam.  Sekarang penelitian itu lebih dikenal sebagai Program Deradikalisasi, tetapi kami sendiri menamakannya Program Pemberdayaan Dakwah. Karena sejak tahun 2011, para ikhwan (saudara) ini sudah ber-hijrah dari Jihad dengan kekerasan, menjadi jihad yang damai, melalui dakwah yang damai juga."

Serangan Molotov Samarinda Pasca Sarlito Wirawan Tutup Usia
Serangan Molotov Samarinda Pasca Sarlito Wirawan Tutup Usia
Serangan Molotov Samarinda Pasca Sarlito Wirawan Tutup Usia
Serangan Molotov Samarinda Pasca Sarlito Wirawan Tutup Usia
Serangan Molotov Samarinda Pasca Sarlito Wirawan Tutup Usia
Serangan Molotov Samarinda Pasca Sarlito Wirawan Tutup Usia
Meski demikian, menjadi catatan penting, yang terungkap dalam program ILC TV One, (16/11) pukul 19:30 WIB, bertajuk "Intan". Pengamat Teroris, Ridlwan Habib menyatakan bahwa penjara jangan sampai menjadi arena untuk pengkaderan. Bahkan, "Di dalam penjara terdapat dua pemikiran, yakni pro ISIS dan kontra ISIS. Sulit untuk merubah pemikiran seseorang yang pro ISIS," ungkap Iqbal Khusaini dalam program acara tersebut. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun