Ketika 3 mahasiswi jadi korban pelecehan seksual baris depan sebuah artikel viral di media sosial, Anda dan saya bertanya pada diri sendiri bagaimana Anda dan saya bisa menjadi jurnalis ataupun penulis yang sukses sementara Anda dan saya bahkan tidak bisa mengetik, begitu parah getaran di tangan ini.
Sedikit jika saya boleh menceritakan nostalgia saat peliputan kasus kekerasan seksual anak, sebut saja Mawar. Ia melewatkan masa kecil, saat itu masih duduk di bangku sekolah dasar. Ia tampak trauma. Saya hanya membaca buku hariannya berupa lukisan dan tulisan tangan yang mengisahkan bagaimana ia mengalami peristiwa pencabulan, ada rasa kekhawatiran dan ketakutan.
Orang tua Mawar mengatakan pelakunya adalah seorang pengusaha tempat ia bekerja. Perjalanan pengajuan proses hukum kepada pelaku tampak sulit meski telah didampingi media massa. Bagi saya yang awam, sistem hukum Indonesia mengalami kesulitan untuk mengenali pemerkosaan dalam hubungan kekuasaan yang diperoleh melalui manipulasi dan ancaman psikologis. Bahkan kasus pemerkosaan yang menggunakan ancaman fisik dapat dijatuhkan oleh polisi karena kurangnya bukti dan saksi.
Hidup para korban tidak akan pernah sama lagi. Beberapa dari mereka bahkan harus pindah dari rumah mereka. Orang tua Mawar menjual rumah, pindah dan saya kehilangan jejaknya. Saat ini, Mawar telah beranjak remaja dan mungkin duduk di bangku kuliah. Saya hanya mendoakan Mawar dan keluarga dapat menempuh kehidupan baru meski ada sisa-sisa luka.
"Betapa baiknya hidupku, dan betapa menyedihkannya hidup mereka!" tulis di buku harian Anda dan saya. Di Indonesia, seperti di banyak belahan dunia, korban kekerasan seksual seringkali mengalami jungkir balik, sementara pelaku menikmati impunitas.
Apalagi, persepsi banyak orang Indonesia tentang pemerkosaan terbatas pada definisi tradisional tentang orang asing yang mencengkeram korban, menahannya secara fisik, memperkosanya dan melarikan diri. Dengan definisi yang sempit ini, tidak ada keadilan bagi perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual jenis lain, dan para pelakunya menikmati impunitas.
Untuk diketahui, warganet sebelumnya dihebohkan dengan beredarnya curahan hati seorang mahasiswi Universitas Sriwijaya (Unsri), Palembang, Sumatera Selatan, yang mengaku menjadi korban pelececahan seksual yang diduga dilakukan oleh oknum dosen pembimbing skripsinya.
Seorang mahasiswi Universitas Riau (Unri) angkatan 2018 diduga mengalami pelecehan seksual oleh dosennya yang juga seorang dekan. Peristiwa terjadi ketika korban ingin melakukan bimbingan skripsi kepada pelaku, Rabu, 27 Oktober 2021 sekitar pukul 12.30 WIB. Mulanya, kata korban, pelaku menanyakan beberapa pertanyaan yang personal, seperti pekerjaan dan kehidupan korban.
"Namun dalam percakapan tersebut, beberapa kali pelaku mengatakan kata-kata yang membuat saya tidak nyaman, seperti ia mengatakan 'I love you' yang membuat saya merasa terkejut dan sangat tidak menerima perlakuan Bapak tersebut," kata korban dalam videonya di Instagram @mahasiswa_universitasriau dikutip pada Jumat5 November 2021.
Insiden yang menimpa mahasiswi Unri itu merupakan satu dari banyak kasus kekerasan seksual yang terjadi di kampus. Kekerasan seksual pada hakekatnya adalah perampokan, agresi terhadap tubuh seseorang, suatu bentuk penindasan. Saat itulah pelaku memaksakan diri pada korban dan merampas hak mereka atas tubuh mereka sendiri -- inti dan kepemilikan dasar setiap manusia. Jika seseorang tidak memiliki kendali atas tubuh mereka sendiri, kebebasan apa lagi yang dapat mereka harapkan?
Hadirnya kasus-kasus pelecehan seksual, kekerasan seksual, penyalahgunaan jabatan, penyelewengan kedudukan pada sesama dosen atau terhadap mahasiswa, agaknya ada hubungannya dengan kurangnya perhatian perguruan tinggi, bahkan negara, yang lebih memerhatikan kualitas perguruan tinggi dalam hal karya publikasi dan riset oleh para akademisi.