Di sisi lain, laporan yang dirilis Bank Dunia bulan Desember 2021, memperingatkan bahwa generasi anak-anak pelajar berisiko kehilangan $17 triliun pendapatan seumur hidup karena penutupan sekolah terkait virus corona. Jutaan siswa berisiko tidak pernah melanjutkan pendidikan mereka, menurut laporan tersebut. Siswa yang lebih miskin dan terpinggirkan, baik di negara yang lebih kaya atau lebih miskin, mengalami ancaman kemunduran pendidikan terbesar.
Bahkan negara-negara Eropa yang kaya di mana siswa bersekolah secara tatap muka selama krisis pandemi mengalami penurunan nilai ujian dan tingkat kehadiran.
Selain siswa yang tertinggal, UNICEF juga memperingatkan tentang "bayang-bayang pandemi" pernikahan anak, pekerja anak, dan masalah kesehatan mental akibat anak-anak yang dikurung di rumah. Banyak siswa miskin juga bergantung pada pendidikan di sekolah.
Uganda bergerak maju dengan membuka kembali pelayanan sekolah setelah lebih dari 80 minggu pintu kelas ditutup. Tetapi sekitar 30 persen siswa diperkirakan tidak kembali karena kehamilan remaja, pernikahan dini atau pekerja anak, menurut Otoritas Perencanaan Nasional Uganda .
Alih-alih beralih ke pembelajaran online, beberapa negara telah meningkatkan langkah-langkah keamanan di ruang kelas. Siswa di Inggris, misalnya, diberikan tes virus corona di sekolah sebelum kembali ke kelas. Surat kabar Haaretz, Israel mengubah pedoman untuk sekolah dasar di tempat-tempat dengan tingkat infeksi tinggi untuk mengurangi jumlah siswa yang diharuskan belajar dari jarak jauh.
Ketika pandemi memasuki tahun ketiga dan sebagian besar populasi global tetap tidak divaksinasi, menciptakan potensi lebih banyak varian untuk muncul, dan sistem sekolah harus mengembangkan strategi jangka panjang. Apa yang sebenarnya mulai disadari oleh pemerintah sekarang adalah bahwa apa yang didefinisikan sebagai situasi luar biasa menjadi normal baru.