Adil? Â
Maka tak heran, sebagian besar sekolah negeri yang favorit dan mungkin unggulan, jurusan IPA jauh lebih banyak daripada jurusan IPS apalagi Bahasa. Ada rasa gengsi bagi siswa yang pintar jika tidak masuk jurusan IPA. Ada stereotip miring untuk anak-anak jurusan IPS. Bahkan, anak-anak IPS sering dikira sebagai anak nakal, nggak banyak les, pelajarannya dikira gampang, dan hafalannya banyak. Padahal, tidak selamanya seperti iitu.
Baik anak-anak jurusan IPA, IPS, maupun Bahasa punya kompetensi yang sama untuk terjun ke dunia kerja. Lagipula di masyarakat, apa iya kita punya anggapan dokter lebih pintar dari akuntan? Lalu berpikir dokter dapat mempelajari akuntansi meskipun sebelumnya tidak mempelajari ilmunya.Â
Jika kita menengok ke belakang, berapa banyak dari kita yang ingat siswa menghabiskan lebih banyak waktu melihat ke luar jendela daripada memperhatikan guru? Anda tahu, siswa yang tidak menonjol, yang tidak pernah mengangkat tangan, yang menghilang.Â
Kita semua tahu mereka berbeda, tapi kita tidak tahu kenapa. Siswa seperti ini, yang tersisih, perlu diberi kesempatan yang tepat untuk didengar suaranya, karena mereka memiliki kemampuan untuk mengubah dunia. Yang mereka butuhkan adalah kesempatan, sesuatu untuk memicu imajinasi mereka.
Pada saat yang sama sistem pendidikan kita membuat siswa kurang kreatif. Kita mengetahui selama beberapa dekade ini bahwa kreativitas adalah bawaan. Ada kebutuhan mendesak untuk mengekspos lebih banyak anak muda untuk melakukan inovasi. Untuk meningkatkan partisipasi dalam inovasi dengan menempatkan kreativitas di garis depan pembelajaran, di tempat yang seharusnya. Ada gerakan yang berkembang dari para pendidik sains dan teknologi yang mendukung pendidikan tersebut.Â
Benar. Bahwa pandemi mempercepat adopsi teknologi dan alat pembelajaran jarak jauh oleh lembaga pendidikan dan pendidik ke tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya.Â
Sementara kemajuan ini patut dirayakan untuk semua teknofil, pandemi juga meningkatkan ketidaksetaraan bagi kaum muda dan prospek karir mereka selanjutnya. Karena 80% siswa dunia --- lebih dari 1,6 miliar anak muda --- tidak bersekolah, banyak siswa di daerah kurang mampu tidak dapat mengakses kursus online atau menghadapi kesulitan belajar di rumah.
Menurut The Economist, para peneliti dari Universitas Harvard dan Brown menemukan platform pengajaran matematika secara online, bahwa siswa "di sekolah berpenghasilan tinggi 12% lebih baik dalam tugas mereka. Tetapi untuk sekolah berpenghasilan rendah, skor turun 17%."Â
Bagi mereka yang berasal dari keluarga berpenghasilan rendah, tidak mungkin memiliki kehidupan tanpa pendidikan yang fokus pada teknologi. Kebutuhan akan perubahan  diperlukan secara mendesak dan dalam skala besar: Kebutuhan akan inovasi kurikulum untuk memastikan pendidikan anak-anak dapat bertahan di masa depan dan adil.